Catatan dan Goresan Masrizal

Catatan dan Goresan Masrizal

Kamis, 06 Januari 2011

Grow with Character! (96/100) Series by Hermawan Kartajaya - Bali Mengungguli Kinabalu dengan New Wave Marketing


Bali Mengungguli Kinabalu dengan New Wave Marketing


PROFESOR Sang Lee adalah seorang Korean American yang luar biasa. Dua saudaranya yang tinggal di Korea adalah pejabat tinggi negara, pernah jadi menteri segala. Sedangkan Sang Lee memilih tinggal di Amerika dan menjadi profesor bidang operational research yang disegani.

Kali pertama saya diperkenalkan oleh Prof Hooi Den Huan pada 2008, Sang Lee sudah menyelenggarakan Pan Pacific Management Conference 25 kali berturut-turut tiap tahun! Berpindah-pindah tempat, dari satu kota ke kota lain. Tiap tahun, ada sekitar 300-500 peserta -kebanyakan profesor- menyempatkan datang untuk berkumpul.

Membicarakan topik di bidang manajemen yang lagi in, baik di sesi pleno maupun sesi-sesi paralel. Setiap tahun ada ratusan riset akademis yang dipresentasikan oleh para profesor muda dan kandidat doktor.

Den Huan mengatakan kepada saya bahwa dirinya sudah ikut “keliling” Sang Lee lebih dari sepuluh tahun. “Very very good for networking, Hermawan.”

“I am thinking to propose to him to organize it in Indonesia!” Wah, mendengar hal tersebut, saya terpanggil untuk menjadikan Indonesia tuan rumah. Why not?

Kita kan perlu mengekspos lebih banyak akademisi dan peneliti Indonesia ke panggung internasional. Sambil menjual MICE atau meeting, incentive, conference, and exhibition. Sudah beberapa tahun, para pengajar Sekolah Bisnis dan Manajemen atau SBM ITB ikut aktif di Asia Pacific Management Conference.

Sejak didirikan dulu, saya memang diajak aktif oleh Pak Kuntoro Mangkusubroto, yang sekarang menjadi ketua Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan Prof Ir Surna Tjahja Djajadiningrat MSc PhD.

Saya memperkenalkan Den Huan untuk juga ikut duduk sebagai international advisor di SBM ITB. Den Huan juga yang memperkenalkan Sang Lee ke SBM ITB. Bahkan, Sang Lee pernah datang ke Bandung sebagai tamu SBM ITB.

Jadi, dia pernah melihat Indonesia on the spot, tapi belum berpikir menyelenggarakan konferensi tahunannya di Indonesia. Terlalu banyak yang menawari Sang Lee untuk jadi host tiap tahun.

Waktu itu kota penyelenggara untuk konferensi ke-27 pada 2010 belum ditentukan. Tapi, Sang Lee sudah “biasa” memilih Malaysia. Sebagai alternatif, saya menawarkan Bali kepada Sang Lee lewat Den Huan. Maklum, saya belum pernah bertemu muka dengan Sang Lee pada 2007.

Kami baru berkomunikasi lewat e-mail. Mendengar kata Bali, dia langsung tertarik untuk mempertimbangkannya. Dia bilang akan meninjau dan membandingkan Kota Kinabalu atau KK dengan Bali. Wah, itu tantangan buat saya! Saya langsung menghubungi Menbudpar Jero Wacik untuk minta dukungan. Pak Jero Wacik sangat mendukung dan langsung menghubungkan saya dengan Dirjen Pemasaran Dr Sapta Nirwandar.

Pak Sapta meminta Direktur MICE Nia Niscaya untuk mendalami masalah itu. Ibu Nia kebetulan adalah arek Suroboyo yang juga Bonek. Kami berdua lantas mengatur strategi untuk memenangkan persaingan dengan KK.

Sebelum meninjau Bali, Sang Lee dijamu habis-habisan di KK. Saya mendapatkan info dari Den Huan bahwa di situ Sang Lee diajak makan malam oleh keluarga sultan. Sang Lee sebenarnya sudah sangat tertarik untuk memilih KK sebelum terbang ke Bali.

Saya tidak mau menyerah, tentunya! Saya, Den Huan, dan Nia menunggu Sang Lee di Bandara Ngurah Rai malam hari. Kami langsung bawa dia untuk makan malam di Warisan, Seminyak.

Saya sengaja mengundang Rachel Lovelock, adik Prof Christopher Lovelock, yang sudah lama tinggal di Bali. Maksudnya? Dia bisa menceritakan betapa amannya Bali walaupun pernah dibom dua kali!

Ibu Nia juga bercerita bahwa Warisan adalah kepunyaan orang bule yang menikah dengan orang Indonesia. Yang makan malam waktu itu hampir semuanya bule!

Itulah moment of truth pertama untuk menetralkan negative feeling Sang Lee sebagai customer. Malam itu, secara terus terang dia bilang lebih safe menyelenggarakan even tersebut di Malaysia karena dua alasan. Pertama, iklan Truly Asia sangat gencar. Maka, para peserta tahunannya lebih tahu Malaysia ketimbang Indonesia.

Kedua, orang tahu nama Bali, tapi takut karena ada dua kali bom, terutama orang Amerika! Itulah yang dalam marketing disebut sebagai anxiety and desire, yang belum tentu mau diucapkan, demi sopan santun.Anda pernah nonton The Invention of Lying? Orang jadi sering melakukan white lie demi sopan santun dan kelihatan gentleman. Tapi, bagi orang marketing, justru itulah yang harus dicari!

Saya juga dengar dari Den Huan bahwa Sang Lee gila golf. Di KK, Sang Lee sudah diajak melihat beberapa lapangan golf. Karena itu, besoknya, dari tempat menginapnya di Grand Hyatt Nusa Dua, saya ajak dia melihat golf course yang pas berada di sebelahnya.

Di Nusa Dua, dia juga meninjau dua tempat konferensi, yaitu Grand Hyatt dan Sheraton. Saya lihat wajah Sang Lee mulai berubah. Mungkin dia tidak pernah menyangka bahwa Bali bukan hanya tempat main-main, tapi juga bisa digunakan untuk koferensi.

Setelah peninjauan, kami mengajak dia ke Ubud. Perkenalan dengan keluarga Puri Ubud sangat mengesankan! Terus terang, itu bertujuan mengimbangi pertemuannya dengan keluarga sultan di KK. Saya berani memastikan bahwa Ubud punya kesakralanyang lebih berkelas dunia. Yang lebih mengesankan buat Sang Lee, dia kami minta berbicara di depan pejabat Pemda Gianyar, anak buah Dr Tjokorda Oka Sukawati yang juga bupati di sana.

Wah, dia lantas merasa menjadi orang penting, kan? Malamnya, kami ajak dia dinner di Restoran Mozaic. Tempat itu juga dipunyai bule yang beristri wanita Indonesia. Mozaic memang masuk dalam daftar restoran kelas dunia.

Malam kedua, dia kami atur untuk tidur di Royal House atau vila VVIP di Royal Pita Maha, hotel milik keluarga Ubud. Paginya, saya ajak dia beryoga di tepi Sungai Ayung yang memang mengalir di dalam hotel. Dia juga kami ajak makan pagi di tepi Sungai Ayung sambil melihat orang-orang rafting, yang memang melewati Royal Pita Maha.

“Wow, it is amazing. I never had an experience like this!” ucap dia. Saya melihat, “angin” mulai berbalik. Ibu Nia waktu itu langsung menyambar kesempatan tersebut dengan menawarkan diri untuk mensponsori Indonesia Cultural Nite di farewell party konferensi ke-27 di Sen Zhen!

The timing is very right!

Kalau ditawarkan pada hari pertama, percuma karena feeling Sang Lee masih di KK. Yang lebih meyakinkan Sang Lee, dirinya melihat saya makan babi guling Ibu Oka berdampingan dengan Ibu Nia yang makan nasi ayam kadewatan!

Di situ saya punya kesempatan untuk menunjukkan bahwa Indonesia bukan negara berdasar agama, melainkan Pancasila. Itulah keunikan Indonesia jika dibandingkan dengan Malaysia. Kayaknya, penjelasan itulah yang ditunggu-tunggu Sang Lee. Tapi, dia tidak berani bertanya karena sensitivitas.

Sekali lagi, orang marketing harus bisa membaca pikiran pelanggan. Sebab, sering orang menolak membeli bukan dengan alasan sesungguhnya. Melainkan, dia belum melihat jawaban atas pertanyaan yang disimpannya dalam hati.

Dalam perjalanan ke Bandara Ngurah Rai, saya mengajak Sang Lee mampir ke Ritz-Carlton Jimbaran yang juga the best Ritz in the world. Di situ Sang Lee enjoy dengan fasilitas hidroterapi yang terbesar di dunia! Ibu Nia pun ikut terjun ke kolam! Sebuah pengorbanan dari direktur MICE yang mau turun ke lapangan sampai segitunya. Apalagi, kan hal itu sangat langka untuk seorang wanita muslim. Tapi, itulah yang membuat Sang Lee sangat bahagia sekaligus terharu.

Melihat betapa ngototnya kami mempromosikan Bali. Dia sudah tidak mempersoalkan bom lagi ketika mengatakan yes sebelum meninggalkan Bali. Itulah the real country marketing story yang saya lakukan demi merebut 500 profesor datang ke Bali pada 30 Mei sampai 3 Juni 2010!

It is a low budget, high impact marketing.

Sepulang dari Bali, mereka semua adalah profesor yang akan jadi promotor untuk semua mahasiswa yang berjumlah ribuan!

And very new wave too. Tidak pakai iklan, melainkan pendekatan komunitas. Bahkan, pasti lebih ampuh daripada iklan! Susah dan capai karena harus kreatif, tapi menyenangkan.

Saya sekarang punya banyak teman di bidang kebudayaan dan pariwisata karena Pak Sapta selaku Dirjen Pemasaran suka melakukan new wave marketing!

Pada 27 Mei 2009, tepat HUT ke-78 Philip Kotler, saya dan Kotler dilantik sebagai special ambassador for Indonesia Tourism oleh Menbudpar Jero Wacik di Galeri Nasional Jakarta. Kami adalah duta kedua dan ketiga sesudah Bill Gates! (*)

Tidak ada komentar: