Catatan dan Goresan Masrizal

Catatan dan Goresan Masrizal

Rabu, 12 Januari 2011

SWA: Handry Satriago: Kanker Tak Bisa Membendungnya Jadi Doktor dan President GE Indonesia

Posted By Yuyun Manopol On September 2, 2010 @ 6:49 am In HEADLINE, Sajian Utama, Swa Majalah

Spirit hidup dan dukungan lingkungan yang kuat mampu mengalahkan banyak persoalan yang dihadapinya akibat kanker getah bening yang dideritanya sejak remaja. Bagaimana perjuangan lelaki nyentrik ini membangun percaya diri dan mencapai prestasi luar biasa?


Suaranya yang lantang dan berat membahana di auditorium Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Depok ketika Handry Satriago, Direktur Power Generation GE Energy (wilayah Indonesia, Vietnam, Filipina, Kamboja), memaparkan disertasinya dalam sidang terbuka, 23 Juli 2010 pukul 14.00 WIB. Sekali-kali dua pria berbadan besar membantu dirinya berpindah posisi karena kursi roda yang digunakan tak memungkinkannya mendekati para penguji yang berada di lantai yang lebih tinggi. Sekitar satu jam kemudian, pengunjung yang memenuhi auditorium bertepuk tangan ketika ia dinyatakan berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul Examining the Followers Influence on Leader’s Performance: A Reverse Pygmallion Effect. Keberhasilan peraih gelar doktor yang ke-117 dari UI dalam Ilmu Manajemen Strategis ini disambut haru keluarga dan rekan-rekannya – terutama sesama alumni Institut Pertanian Bogor dan SMA Lab School Rawamangun.


Co-Promotor disertasi Handry, Budi W. Soetjipto, DBA, menilai Handry sosok tergolong gigih dalam menyelesaikan disertasinya di tengah kesibukannya sebagai eksekutif GE Energy Asia Tenggara. Budi mengaku kerap melakukan bimbingan disertasi pada malam hari, di kafe ataupun lobi lounge hotel. Bahkan, ia pernah melakukan bimbingan atas permintaan Handry di Bangkok, karena kebetulan sama-sama sedang berada di sana. “Ia mandiri dan organized. Ketika ketemu, dia tidak datang dengan masalah. Pokoknya, cepat beres,” ujarnya.


Salah seorang anggota penguji disertasi, DR. Sari Wahyuni menyebut penelitian Handry tentang followership dan peranan pentingnya dalam proses kepemimpinan, merupakan hal yang inovatif dan tidak biasa. “Umumnya orang membahas tentang leadership, bukan followership,” ujarnya. Dan yang membuat Sari salut dengan Handry adalah nilai IPK Handry yang nyaris sempurna alias 4 – cuma satu mata kuliah yang mendapat nilai B, lainnya A. “Itulah sebabnya saya ingin co-promotor saya Pak Budy, karena dia satu-satunya yang memberi nilai B. Dia pasti benar,” ujar Handry penuh kelakar.


September 2010 ini, pria berdarah Minang berusia 41 tahun ini secara resmi akan naik pangkat sebagai President GE Indonesia. Jelas, pencapaian akademis dan juga kariernya sebagai eksekutif merupakan hal luar biasa di Tanah Air, mengingat keterbatasan fisik yang dideritanya. Ceritanya cukup panjang, dan untunglah Handry mau berbagi kisahnya.


Belasan tahun lalu, tepatnya beberapa hari setelah ulang tahun yang ke-18 pada Juni 1987, Handry didiagnosis mengidap kanker kelenjar getah bening di tulang belakangnya. Saat itu ia tidak menyangka bahwa akibatnya ia akan duduk di kursi roda hingga bertahun-tahun lamanya. “Awalnya saya sakit punggung. Lalu, dibawa ke dokter, katanya rematik dan sebagainya. Tetapi makin lama kok makin lemas. Akhirnya melalui berbagai potret, diketahui ada kanker dan kemudian kankernya dibuang,” ceritanya.


Namun, dampaknya sungguh memberikan pukulan berat buat anak SMA periang ini: ia tidak bisa jalan. Itu terjadi sejak September 1987. “The world is black,” ungkap pria kelahiran Pekanbaru 13 Juni 1969, yang mengaku kala itu sangat syok, tidak tahu lagi apa yang ingin dilakukan. Padahal sebelumnya ia sempat bercita-cita kuliah di Stanford University, Amerika Serikat. “Saya (waktu itu) marah pada Tuhan. Saya merasa mimpi saya dipotong. Saya ingin sekolah di luar negeri, tapi tidak bisa,” tuturnya dengan nada yang masih mendalam.


Untunglah, putra tunggal dari pasangan Djahar Indra dan Yurnalis ini memiliki keluarga dan teman-teman yang amat suportif. “Ada dua hal yang tidak bisa saya abaikan,” ujar pria yang memiliki keluarga cenderung beranak tunggal ini. Hal pertama yang membuatnya memiliki spirit untuk melanjutkan hidup dengan sebaik-baiknya adalah dorongan orang tuanya yang mengatakan masih banyak yang bisa dinikmati walaupun dengan kondisi terbatas. Orang tuanya berujar, hidup tidak bisa dinikmati kalau dia tidak mau ngapa-ngapain. Maka, ia disarankan melakukan upaya ekstra. “Kalau kamu senang dengan suasana sekolah, ya pergi dong ke sekolah itu,” ujarnya menirukan ucapan orang tuanya. Ia melihat orang tuanya tidak menunjukkan kecemasan yang berlebihan. Tak pernah Handry melihat ibunya sampai datang ke sekolah. Alhasil, ia merasa orang tuanya yakin bahwasanya ia bisa terus menjalani kehidupannya.


Hal kedua adalah dorongan teman-temannya, terutama di SMA Labschool Rawamangun. Ia merasa keakraban dengan teman-teman sangat kuat karena mereka memiliki kelas-kelas kecil, yakni hanya 120 murid per angkatan.


“Saya tidak akan berhasil kembali ke sekolah kalau teman-teman saya tidak yakin saya bisa sekolah,” ujar Handry. “Guru dan teman-teman saya di sekolah sangat helpful and treat me as a normal,” katanya lagi mensyukuri. “Mereka bilang, ‘Lu nyusahin aja, kagak jalan. Capek nih ngedorong lu,” ujarnya mengutip banyolan teman-temannya saat itu. Handry sendiri mengaku sosok humoris. Ia tak segan-segan melontarkan kelakar yang menggelitik dan membuat tiap orang di dekatnya tertawa terbahak-bahak. Dan, ia merasakan justru hal itu yang membuatnya merasa berada di lingkungan normal.


Toh, ia mengakui sejumlah persoalan kerap merepotkan aktivitasnya. Dengan terbuka, Handry mengungkap salah satu contohnya: buang air kecil. Sepengetahuannya, secara umum penderita penyakit tulang belakang tidak tahu kapan akan buang air kecil. Maka, banyak dari mereka yang dipasangi kateter. Namun risiko infeksinya besar sekali. “Kebetulan saya termasuk yang tidak parah. Saya masih bisa merasa mau pipis, walaupun tidak bisa menahan lama. Jadi, saya iketin plastik saja,” ujarnya gamblang. Beberapa waktu kemudian, ia mengenal urine bag yang bisa dilem atau diikatkan ke kaki. “Jadi lebih praktis.”


Itu baru satu hal, belum termasuk yang lebih sulit semisal buang air besar. A pula yang tak kalah merepotkan, yakni ketika ia ingin nongkrong dengan teman-temannya dan mengobrol. “Saya kembali melakukan ‘pembangkangan’. Bahwa saya ingin menikmati itu,” ujar mantan Ketua Science Club di SMA Labschool Rawamangun ini. Untuk ini upayanya jauh lebih susah karena harus ada mobil plus sopir buat mengantar dan mengangkatnya.


Masa yang juga mengesankan bagi proses pengembangan kepribadian Handry adalah ketika memasuki IPB. Rupanya Handry sempat mengambil cuti kuliah dulu selama satu tahun ketika masuk IPB. Alasannya, “Saya sempat tidak yakin saya bisa. Karena saya kehilangan teman-teman Labschool saya,” ujarnya. Respons ayahnya sangat mendukung karena mantan pegawai logistik Total Indonesia itu ingin anaknya berobat dulu. “Memang lebih membaik, tapi masih pakai tongkat. Artinya belum normal penuh,” ujarnya.


Menurut Handry, orang tuanya memiliki gaya sendiri dalam mendidik dirinya. “Kami bukan keluarga akademisi. Ayah saya bukan orang berpendidikan tinggi. Ibu saya juga,” ujarnya. Namun tempat untuk berekspresi selalu tersedia. Apalagi, di lingkungan tempat tinggalnya di Kompleks Wartawan Cipinang, ia punya tetangga dengan nama besar seperti Gunawan Mohamad dan Atmakusumah. “Itu semua yang membuat saya punya cara berpikir bebas, bisa melihat dari berbagai angle. Ini juga mendorong saya untuk memiliki mimpi yang bisa dilihat dari berbagai macam angle,” katanya seraya mengakui dalam perjalanannya mimpi tersebut beberapa kali mengalami pembelokan karena situasional. “Saya selalu bermimpi untuk menjadi seseorang yang berguna,” ujarnya mengenai prinsipnya. Satu hal yang selalu diajarkan ibunya dan diingat Handry adalah bahwa to love is to give (mencintai berarti memberi).


Hal-hal seperti itu yang ikut menguatkan Handri masuk kuliah di IPB tahun berikutnya. Ia mengakui, suasana di kampus sangat berbeda dari lingkungannya selama ini: banyak mahasiswa asal daerah dan mereka tampak sangat agamis. Handry merasa hal ini sangat kontras dengan dirinya yang lebih suka tampil nyentrik: dengan rambut gondrong dan kerap memakai celana jins sobek. “Metal deh,” katanya mengistilahkan tampilannya. Menurutnya, hal itu ia lakukan hanya buat menyenangkan hati. “Barangkali saya ingin berusaha menunjukkan bahwa saya tidak lemah. Tapi, terus terang saya juga tidak tahu persis mengapa dulu melakukan itu.” Meskipun penampilannya nyentrik, ia mengaku amat senang bergaul. Tak heran temannya banyak dari berbagai golongan, agama, politik dan level ekonomi yang berbeda.


Di IPB ia mengaku beruntung menemukan teman-teman baru yang sangat mendukungnya. Pengalaman yang paling mengesankan setiap kali memasuki laboratorium yang berada di lantai empat – yang untuk naik ke lantai yang lebih tinggi hanya bisa lewat tangga. “Saya dibopong ke atas. Tapi, teman-teman punya keyakinan bahwa saya tetap bisa menjadi insinyur dengan cara kayak gitu,” ujar mantan pendiri Himpunan Mahasiswa Pecinta Bioteknologi dan peraih penghargaan dari Presiden Soeharto tahun 1993 sebagai mahasiswa berprestasi tingkat nasional ini.


Waktu terus berjalan. Di ujung penyelesaian kuliahnya, cobaan baru datang lagi: kanker baru tumbuh. Kali ini di pinggang. Ia sempat mengalami pendarahan ketika sedang mengikuti sidang ujian skripsi. Selepas sidang, setelah pulang ke Jakarta dari Bogor pada malam hari, esok paginya ia masuk rumah sakit untuk menjalani kemoterapi. Meski dengan kendala fisik seperti itu, ia bisa menyelesaikan kuliah S-1 di IPB dengan IPK amat mengesankan.


Setamat dari IPB, tahun 1994 ia sempat bekerja di GMT Group (perusahaan konstruksi). Posisinya sebagai Asisten BOD Analisis Bisnis dan Technology Assessment GMT Group (1992-1994). “Sebenarnya sih hanya tukang ketik dan menganalisis sesuatu,” ujarnya setengah berkelakar. Khawatir tak bisa berkembang lebih jauh, ia memutuskan keluar dan sekolah MM double degree di Institut Pengembangan Manajemen Indonesia (IPMI) – yang bekerja sama dengan Monash University – pada 1996.


Seperti halnya di IPB, Handry berhasil menyelesaikan kuliahnya dengan prestasi yang membanggakan. Ia berhasil menyelesaikan kuliahnya dalam setahun dengan predikat cum laude. Prestasinya di tengah kendala fisik ini rupanya menarik minat pencari bakat terbaik dari GE. Pada 1997, ia pun ditawari GE Indonesia untuk bergabung. “Awalnya jawaban saya tidak mau karena saat itu saya sudah memiliki perusahaan sendiri dan punya duit,” ujar pria yang sempat menekuni bisnis desain grafis ini. Toh, begitu ia diberi tahu posisi yang ditawarkan adalah manajer pengembangan bisnis dan sejumlah keuntungan yang akan diperolehnya, Handry yang saat itu berusia 28 tahun akhirnya menerima. Menurutnya, posisi yang ditawarkan saat itu menggantikan Hotasi Nababan – mantan eksekutif GE Indonesia yang pernah menjadi CEO PT Merpati Nusantara Airlines.


Tahun 1998 Indonesia mengalami krisis. Saat itu GE meluncurkan program rotasi, di mana dalam dua tahun karyawannya harus dirotasi. Kala itu ia minta dipindahkan dari divisi korporat ke unit bisnis yaitu GE Lighting. Hal ini sempat mengagetkan atasannya. “Sebab, ini bisnis ritel. Dan, dari sisi size, bisnis GE Lighting amat kecil dibanding energi,” ujarnya. GE secara umum lebih suka menangani bisnis yang besar seperti menjual turbin. Alasannya, deal bisnis tersebut bersama orang level atas. Sementara jika menangani lighting, mereka harus berhubungan dengan peritel, distributor, dan agen. “Bahkan, akhirnya kantor saya pun dipindah dari yang tadinya ruangan ke cubical,” ujarnya.


Itulah Handry, yang merasa menyukai tantangan. “Saya merasa ini bisnis menarik karena banyak sekali tantangannya: sebagai pemain baru, lampu impor, kurs juga berubah sampai Rp 15 ribu/US$,” ujarnya. Ia sendiri menyadari apa yang akan ia lakukan adalah hampir tidak mungkin direalisasi. Maklum, penguasa bisnis ini saat itu adalah Philips. Tak heran, sebelumnya di GE tak ada yang melirik bidang ini.


Toh Handry tak gentar. Konsekuensinya, ia harus mengembangkan tim sendiri. “Tim saya anak-anak muda. Dan, kami berhasil grow dari zero hingga (beromset) US$ 3 juta dalam waktu dua tahun (1998-2000),” kata pria yang saat itu menduduki posisi General Manager GE Lighting (wilayah Indonesia dan Brunei Darussalam). Di antara hasil yang mengesankan, yakni tuntasnya proyek tata cahaya di Bandara Ngurah Rai dan Candi Prambanan. “I’m very proud of that team. Saya merasa melakukan banyak hal yang tadinya mission impossible,” ujarnya. Dan, bagi Handry saat di GE Lighting ini merupakan salah satu momen terbaiknya sebagai orang GE.


Pada 2000 ia pindah ke Divisi Power System GE. Dengan kata lain ia berpindah dari produk konsumer ke bisnis proyek. Di sini ia menangani aktivitas Six Sigma GE yang merupakan program quality improvement GE. Bahkan ia sempat menjadi Direktur Six Sigma Quality Asia, ACFC Program, GE Energy (2003–2005).


Yang juga cukup mengesankan bagi Handry ketika ia dipercaya mengurus penjualan pada 2005. “Saat itu penjualan pembangkit listrik (power generator) GE Indonesia masih zero, alias tidak ada penjualan,” ujarnya. Tantangan terbesar baginya adalah mengembalikan Indonesia ke peta power generation GE worldwide. “Kami pun akhirnya berhasil menjual 160 MW dari sebelumnya 0 MW,” katanya bangga. “Tapi, itu bukan karena hebatnya saya. Lebih dikarenakan adanya tim,” tambah Direktur Penjualan Power Generation Indonesia GE Energy (2005–2009) ini. Diungkapkan pula, sejak ia bergabung di bisnis proyek, dalam waktu sebulan ia mampu mencatatkan satu proyek.


Keberhasilannya ternyata terus berlanjut. Diklaimnya, saat ini dari total 25 ribu MW kapasitas terpasang listrik di Tanah Air, 500 MW di antaranya merupakan hasil penjualan tim Handry. “Bisa dibilang ini yang bikin saya senang. Jualan saya ada gunanya. Dan ini membuat saya menjadi penjual tenaga listrik terbesar di ASEAN,” ujar Direktur Penjualan Power Generation GE Energy untuk Indonesia, Vietnam, Filipina, Kamboja (2009–2010) ini sambil tersenyum lebar.


Jika dicermati perjalanan karier Handry di GE terbilang panjang. Tepatnya sudah mencapai 13 tahun lamanya. Nah, awal September tahun ini ia dipromosikan resmi menduduki posisi nomor satu di GE Indonesia, yang berarti membawahkan bidang Energi dan Infrastruktur Teknologi. Posisi ini menempatkan dirinya sebagai pemimpin termuda dalam jajaran top eksekutif GE global, sekaligus jebolan perguruan tinggi lokal pertama yang didaulat sebagai komandan GE di Tanah Air. Ia menggantikan David Utama yang kabarnya dipercaya memimpin GE Healthcare Asia Tenggara.


Boleh jadi, penunjukan Handry sebagai komandan GE di Indonesia ada kaitannya dengan dialognya dengan CEO GE, Jeff Immelt, ketika bertandang ke Indonesia beberapa waktu lalu. Ceritanya, pada 2009, CEO GE datang ke Indonesia dan berbicara di hadapan karyawan GE di Indonesia tentang potensi negara ini sebagai future market. Mendengar hal itu Handry pun sempat bertanya kepadanya, “Kita sudah capek mendengar Indonesia selalu menjadi future market bagi GE. We make it now market,” katanya menceritakan pendapatnya saat itu. Dalam pandangan Handry jika Indonesia hanya menjadi future market terus, maka upaya (effort) yang dilakukan pun masih bersifat future. Untuk itu ia berpendapat, “Let’s do something different. Jangan cuma jadi equipment supplier. Bisa nggak kita jadi partner,” ujarnya. Ia kemudian membandingkan perusahaan-perusahaan Korea di Indonesia yang bisa bergerak lebih cepat. Mereka berinvestasi dan melakukan banyak hal di Indonesia. Mereka mengalami banyak kesusahan yang sama tetapi mereka menancapkan kukunya lebih dalam. “Nah, mereka panen sekarang,” ungkapnya. Ternyata bos Handry menanggapi serius. “Okay let’s do something different,” katanya. Nah, setahun sesudah itu, “I got this assignment. Apakah ini related? I don’t know,” ujar suami Dinar Sambodja, mantan karyawan GE di Yogyakarta yang kini menekuni profesi notaris.


Handry mengaku saat ini ia masih susah menyebutkan rencana dan strateginya dalam membesarkan GE Indonesia ke depan. Alasannya, ia baru diangkat per 1 September. Toh, secara garis besar ia punya satu target. “Saya ingin membuat GE lebih besar. Very big,” ujarnya. Caranya, saat ini ia sedang memperkuat kemampuan GE Indonesia menjadi partner and total solution provider to customer. “Sebab, jika hanya menjadi good equipment supplier saja, barangkali tidak cukup. Harus jadi partner!” katanya optimistis. Lalu, apa sih moto hidupnya sehingga ia bisa melewati tantangan berat tetapi dengan pencapaian prestasi mengesankan? “Enjoy saja! Saya suka ketawa. Kalau ada enjoy yang halal, jangan dibuang. Nikmati saja,” katanya ringan.

Link:
http://swa.co.id/2010/09/handry-satriago-kanker-tak-bisa-membendungnya-jadi-doktor-dan-president-ge-indonesia/

TEMPO: Handry Satriago, Si Pemecah Rekor


Handry Satriago, Si Pemecah Rekor
Sabtu, 04 Desember 2010 | 01:49 WIB


Handry Satriago, Presiden General Electric Indonesia

TEMPO Interaktif, Jakarta - Handry Satriago adalah “pelari” sejati. Dia ada di jalur sprint. Dia hadir di lini jarak jauh. Dan, astaga! Dia melesat di lintas maraton. Perhentian, stagnansi, dan zona nyaman adalah “halang rintang” yang dilibasnya dengan endurans nyaris tak tercela. Ya, hidup Handry ibarat lintasan lari mendebarkan--yang melukiskan ketakterbatasan manusia mengoptimalkan daya hidup di tengah keterbatasan.

Berbagai brevet yang dia kumpulkan sepanjang jalan membuat orang--barangkali--terpikat menjuluki dia “Wonderkid” dan sejenisnya. Entahlah. Tapi rasa-rasanya itu bukan julukan tepat. Dia manusia biasa saja, pria 41 tahun, yang persisten melawan rintangan, setiap kali. Kutipan dari satu teman masa sekolah agaknya lebih tepat menggambarkan Handry: “He is a comeback kid, he sure is--dia selalu kembali ke arena hidup dengan berdaya--betapa pun besarnya kesulitan.”

Pada 1987, kanker getah bening merenggut daya kedua kakinya, dan memindahkan dia ke kursi roda pada usia 18 tahun, hingga sekarang. Dari titik nadir panjang dan menakutkan, remaja itu bangun, menjemba kursi roda, lalu mengubahnya menjadi partner--dan bukan pasif tergantung. Dari atas kursi itu, Handry kembali mengeksplorasi tahun-tahun hidupnya bak pelari multilintas dengan target pursuit of excellence: menjadi yang terbaik.

Kini, 23 tahun kemudian….

Di lantai dasar Gedung Parkir BRI di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan--satu sentra bisnis paling prestisius di Ibu Kota--Handry menempati kantor Presiden General Electric Indonesia. General Electric (GE) adalah raksasa teknologi dan energi kelas dunia dengan 130 tahun sejarah. Didirikan Thomas Alva Edison di Amerika, perusahaan ini hadir di Indonesia sejak 70 tahun lalu--dan kini menggurita di 100 lebih negara.

Handry, anak tunggal sebuah keluarga perantau Minang sederhana, mengisi kursi itu sejak 1 September 2010. Dua rekor sekaligus dia pecahkan: menjadi lulusan pertama universitas dalam negeri yang mengisi posisi Presiden GE Indonesia, dan pemimpin termuda dalam sejarah General Electric global.

Prestasi itu tidak lahir dari ruang kosong, tentu saja.

Alumnus Institut Pertanian Bogor ini mahasiswa teladan nasional 1993. Dia memetik dua cum laude dalam masa studi--dan lulus doktor strategic management di Universitas Indonesia pada Juli lalu, di tengah jadwal superpadat sebagai Direktur Power Generation GE Energy ASEAN.

Bergabung dengan General Electric pada 1997, Handry sempat menangani Divisi GE Lighting. Dalam dua tahun, insinyur pertanian itu melejitkan pendapatan divisi ini dari nol ke US$ 3 juta (hampir Rp 30 miliar). “Dia punya semacam ketajaman melihat bisnis dengan cara out of the box. Itu membuat dia sukses mengendus potensi yang luput dilihat orang lain,” kata seorang pengusaha muda nasional.

Dua kali Handry memberikan wawancara kepada U-Mag. Pertemuan pertama dilangsungkan di rumahnya--lalu di kantornya, dua pekan kemudian. Mirip “bunker”, kantor itu simpel dan efektif: jauh dari kesan “power office”. Ada satu meja kerja. Rak buku kecil. Seperangkat sofa. Meja rapat. Kulkas satu pintu yang menyimpan berkotak-kotak jus dan teh serta Diet Coke. Di dekat jendela, sehelai sajadah tersampir di gantungan jas dari kayu.

Di ruangan itulah, Hermien Y. Kleden dan Andari Karina Anom serta juru foto Ijar Karim mewawancarai Handry Satriago untuk U-Mag edisi November 2010. Berlangsung dua jam lebih, wawancara itu lebih mirip diskusi seru, hampir tanpa off the record.

Berikut ini petikannya.

Apa kriteria pertama Anda menerima sebuah pekerjaan?

Syarat pertama harus ada hal yang masih bisa saya pelajari terus-menerus di tempat itu, harus ada challenges. Jika semuanya sudah tertutup dan saya menjadi robot, itulah saatnya saya pergi--sebagus apa pun pekerjaannya.

Sebagus apa pun?

Sebagus apa pun! Saya selalu memerlukan passion untuk mendidihkan semangat, membuat saya merasa hidup, yang mungkin saya temukan di sebuah tempat yang masih memberi saya kesempatan belajar.

Tiga belas tahun Anda tidak beranjak dari General Electric. Artinya tempat ini membuat Anda belajar terus-menerus?

Persis! Ide saya adalah perusahaan harus tumbuh, ide-ide perlu tumbuh. Tapi saya juga mesti tumbuh. Dan itu saya temukan seluas-luasnya di GE. Kami selalu punya hal baru, setiap tahun ada pembicaraan baru, eksekusi baru. Kami tidak takut membuat kesalahan, dan kami belajar dari kesalahan. Itu cara kami bekerja, dan membuat GE tetap maju selama 130 tahun.

Oke, apa yang terpikir oleh Anda ketika menerima posisi National Executive GE untuk Indonesia?

Bahwa GE harus menjadi partner dalam bisnis di negeri kita, dan bukan hanya sebagai pemasok, equipment supplier. Saya barangkali “produk Indonesia” pertama yang memimpin GE Indonesia.

“Produk Indonesia” dalam arti apa?

Dalam arti saya bersekolah di sini dan hidup di sini. Tim saya seluruhnya orang Indonesia. Ketika teman-teman tahu posisi ini ditawarkan, semuanya gembira dan amat mendorong: “Come on, Handry, let’s rock, let’s do something.” Kami ingin membuat GE berguna bagi Indonesia, dan itu bukan cuma lewat program-program filantropis.

Soal GE menjadi partner bisnis, bisa Anda jelaskan lebih detail?

Ya, partner bisnis, dan bukan sekadar project based atau sebagai equipment supplier. Tapi partner. September 2909, Jeff Immelt (CEO dan Chairman General Electric--Red.) datang ke Indonesia. Dalam kesempatan itu, dia berbicara kepada kami. Kata Jeff, Indonesia selalu menjadi future market, pasar masa depan, untuk GE. Duduk di belakang ketika itu, saya menjawab, “Jeff, kita sudah lelah terus-menerus mendengar Indonesia sebagai pasar masa depan. Sudah 20 tahun terakhir kita mendengar hal itu. Mengapa kita tidak melakukan hal berbeda, membuat Indonesia “now market”?

Jadi ini soal perubahan mindset?

Ya! Tapi perubahan mindset adalah soal amat mendasar. Sebab, keputusan memperlakukan Indonesia sebagai future market dan now market akan mempengaruhi bagaimana seluruh bisnis GE akan dijalankan di Indonesia.

Apa respons Jeff Immelt terhadap usul Anda?

He bought the idea. Satu tahun setelah pertemuan itu, kami membuat banyak perubahan di Indonesia. Kami menerapkan lebih banyak strategi lokal, lebih banyak orang Indonesia yang memimpin GE. Bahkan sekarang boleh saya katakan semua GE leader kami di negeri kita adalah orang Indonesia. Dan itu sangat membahagiakan saya. Jadi, begitu Jeff sepakat, efeknya kayak orkestra. Begitu konduktornya memberi tanda oke, semua orang memainkan bagian musik masing-masing.

Dan bagian apa yang Anda mainkan ketika itu?

Menjadi salah satu orang yang bertugas mengalirkan pemasukan, revenue. Lalu, tiba-tiba, saya mendapatkan tugas baru ini sebagai national executive untuk Indonesia (Presiden GE Indonesia--Red.)

Apa respons pertama Anda terhadap posisi baru ini?

Sangat senang, tentu saja, terutama dari segi bahwa saya menjadi NX (national executive--Red.) GE untuk Indonesia, di wilayah tanah air saya. Saya bisa memandu, dari segi bisnis, bagaimana menjual GE kepada Indonesia dan “menjual” Indonesia kepada GE. Andai saya menjadi national executive di negara lain, kendati potensi bisnisnya jauh lebih besar, rasanya ceritanya tentu berbeda.

Dan itu salah satu alasan Anda mengusulkan perubahan mindset GE dalam melihat pasar Indonesia: dari pasar masa depan ke pasar masa kini?

Begini. Pada dasarnya, ini bukan hanya soal menjalankan bisnis di sebuah perusahaan multinasional, melainkan bagaimana membuat GE lebih bermanfaat untuk Indonesia. Untuk menjadi now market, kami tidak bisa sekadar bekerja pada basis proyek, atau menjadi sekadar pemasok--betapa pun besar nilai bisnisnya--tapi kami harus menjadi partner bisnis.



***


Di antara daftar impiannya, Handry meletakkan “kembali ke kampus” pada deretan teratas. “Saya amat suka mengajar. Dulu saya mengajar di kelas-kelas akhir pekan.” Menjadi guru, menurut Handry, memberikan luxury yang tak dia temukan dalam profesi lain. “Bayangkan, di sebuah kafe, ada yang datang memberi salam: ‘Pak, saya dulu murid Anda, sekarang sudah jadi ini dan itu.’ It feels sooo good, saya bisa senyum-senyum seharian,” ujarnya.

Rumahnya di Tebet memang lebih mirip kediaman seorang dosen ketimbang national executive sebuah perusahaan multinasional kelas dunia. Seluruh dinding ruang kerja dipadati buku, nyaris menyentuh langit-langit. Kitab dari aneka disiplin ilmu tersusun rapi--ekonomi, manajemen, energi, sains, sastra--hingga ensiklopedia travelling. Handry adalah pembaca yang rakus. Dia melahap buku-buku matematika tinggi atau teori-teori rumit energi dengan gairah yang sama mendidih seperti membaca novel-novel sastra klasik. “Novel-novel saya dari jenis old school,” katanya.

Cinta Handry juga meleleh pada musik-musik blues--yang disebutnya “oasis” di saat-saat berat. Membaca atau mendengarkan musik adalah cara dia merilekskan diri di rumahnya yang kasual, ramah, dan penuh lukisan Bali serta memorabilia keluarga. Rumah mungil itu tegak di kawasan Tebet Barat, Jakarta Selatan. Halamannya ditumbuhi beberapa pokok bunga perdu--membuat terasnya lebih hangat.

***

Maaf, boleh kami tahu, kira-kira semampu apa Anda menjadi National Executive GE untuk Indonesia?

Wah, pertanyaan itu tentu lebih tepat Anda berikan kepada atasan saya, atau tim yang mengevaluasi saya. Tapi, andai evaluasi pribadi itu harus saya lakukan, kurang-lebih demikian: saya kenal betul Indonesia, saya hidup di sini, saya kenal betul GE setelah 13 tahun kami bersama. Saya pernah menangani bisnis proyek hingga bisnis nasabah (consumer). Saya punya semacam intuisi tentang apa yang harus dilakukan GE di Indonesia. Dan yang paling utama, saya mencintai, sangat mencintai Indonesia.

Mencintai Indonesia adalah satu hal, tapi mewakilinya di peta GE Global adalah hal lain lagi….

Saya tidak pernah berhenti belajar tentang perihal kompetisi, dan belajar mengapa kita, Indonesia, belum cukup kompetitif. Salah satu kunci dalam kompetisi adalah semangat, passion, untuk mempertautkan perusahaan multinasional sekelas GE dengan Indonesia. Harus ada yang mampu menghadirkan Indonesia sebagai sesuatu yang sungguh berarti. Dan harus ada yang berani mengatakan, “Hey, look I can do that for GE.”

And are you sure that you have that ability?

I feel I posses that: how to represent Indonesia to GE and vice versa! Tahun lalu, saya menyaksikan pertemuan Chairman GE Jeff Immelt dengan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Gita Wirjawan dan Menteri Perdagangan Mari Pangestu. Saya bangga sekali menyaksikan keduanya mewakili Indonesia dan paham betul menghadirkan konteks Indonesia dalam pertemuan tersebut.

Potensi Indonesia sebagai pasar masa kini, apa sebetulnya yang Anda lihat?

Bertahun-tahun kita berulang kali mendengar orang mengatakan Indonesia kaya sumber alam dan sumber daya. Sekarang kita berada di latar agak berbeda. Mengapa? Situasi politik Indonesia lebih stabil, lebih transparan. Bagi kami, ini masa yang baik untuk lebih mengembangkan jaringan bisnis di Indonesia.

Karena makroekonomi kita bagus?

Ya, dan para menteri yang menangani bidang-bidang tersebut mampu bekerja amat baik. Momentum lain, sasaran domestik GDP kita meningkat dan otomatis meningkatkan kebutuhan infrastruktur. Nah, GE punya banyak rencana menyangkut infrastruktur, yang tentu perlu kami eksekusi dengan tepat dan berhasil.

Apa kesulitan utama yang dihadapi GE di Indonesia?Transparansi selalu menjadi satu isu yang dipertimbangkan banyak perusahaan multinasional yang hendak berinvestasi di Indonesia. Poin saya, transparansi harus beres agar daya tarik berinvestasi di Indonesia lebih besar. Kedua, soal sumber daya manusia. Kalau kita mau menjadikan Indonesia center of excellence, kita tidak bisa hanya melihat ke dalam, tapi harus berani membandingkannya dengan negara-negara lain.

Bisa dijelaskan lebih detail?

Di level ini, kita tak lagi berbicara soal sekian persen kinerja kita naik di dalam negeri, atau sekian persen revenue meningkat. Hitungannya harus jauh lebih dari itu. Misalnya, apakah insinyur kita lebih jago daripada insinyur-insinyur Thailand, atau apakah saintis kita lebih mahir daripada para saintis India.

Seperti apa kinerja bisnis GE Indonesia dibanding “saudara-saudara”-nya di ASEAN?

Detailnya harus dicek lagi, tapi seingat saya untuk tahun lalu Thailand dan Malaysia masih di depan Indonesia.

Ini yang kami dengar: Anda yakin GE mampu berkembang menjadi jauh lebih besar di Indonesia. Benar demikian?

Ya, saya sangat yakin dengan dua alasan. Pertama, kini kami punya tim lengkap, 100 persen di sini adalah orang Indonesia. Tapi yang jauh lebih penting dari itu, kami punya spirit dan punya gairah yang sama untuk “berlari”, yang di masa lalu tidak seperti ini. Kedua, produk dan servis kami betul-betul padan dengan apa yang dibutuhkan negeri Indonesia di masa kini. Jadi kuncinya adalah mempertautkan kepentingan GE dan Indonesia secara padu, lalu mengeksekusinya.



***


Di antara semua yang pernah melintasi hidupnya, ada sosok masa silam yang tak pernah habis menerbitkan rindu dan kehilangan pada Handry. Sosok itu menyadarkan dia--sampai kini--bahwa berlari, memanjat pohon, mendaki gunung, atau menandak di seputar api unggun pada malam kemahan sekolah bukan hal yang taken for granted--melainkan anugerah hidup.

Sosok itu adalah Handry Satriago remaja, dengan sepasang kaki kukuh dan utuh. Di akun Facebooknya, potret remaja itu terpampang: tampan, segar, dengan senyum luas dan merdeka. Rambutnya keriwil panjang, riap-riap, menjalari wajah dan bahu. “That boy was taken away from me in the middle of my glory time…,” suaranya yang berat, berdebum-debum sepanjang wawancara, tiba-tiba menjadi pelan.

Kanker getah bening melesakkan remaja itu ke dalam tiga bulan penuh limbung, di awal-awal sakitnya. Dia memekik kepada Tuhan, mengapa tega memotong cita-citanya menjadi ahli sains dan belajar ke negeri-negeri jauh. Kedua orang tuanya berhasil menyentuh titik balik kesadaran anak semata wayang mereka. Keduanya menekankan, warna-warni hidup sejatinya tetap seperti sediakala. Tapi Handry harus memutuskan warna apa yang hendak dia lukiskan ke “kanvas pribadinya”.

Anak itu menjawabnya dengan kembali ke sekolah, merebut sederet prestasi gemilang di bidang akademik serta karier profesionalnya. Dan terutama menerima sakit dan segala efeknya sebagai bagian integral hidupnya. “Kanker dan kursi roda ini memberi saya jauh lebih banyak ketimbang mengambilnya,” ujarnya dengan sungguh.



***


Boleh kami tanya hal agak pribadi? Anda sukses secara akademik dan profesi. Anda kini sehat walafiat. Jadi apa yang tidak Anda miliki?

Saya tidak punya kaki untuk berlari, padahal saya ingin sekali berlari. Saya amat merindukan kelas-kelas saya di kampus, tapi saya sekarang betul-betul belum punya waktu lagi untuk mewujudkannya.

Adakah yang tidak Anda sukai dari pekerjaan sekarang?

Ya, ada juga. Formalitas salah satunya. Formality is not my things. Saya punya satu suit di kantor dan lebih senang pergi kerja memakai kaus. Kalau harus datang ke acara-acara resmi, atau harus ketemu orang yang belum pernah saya kenal, saya pakai batik atau jas. Tapi, kalau nasabahnya teman lama, mereka tidak keberatan saya pakai kaus.

Apa yang Anda jawab kalau kalau ada yang bertanya soal hidup Anda di kursi roda?

Dulu sih panjang-lebar jawabnya. Tapi kan lama-lama bosan juga kalau setiap kali harus menjelaskan hal yang sama. Jadi jawabannya adalah jatuh, ha-ha-ha….

Ha-ha-ha…. Jatuh di mana, dong?

Oh, dari tebing Citatah. Singkat. Cepat. Memancarkan citra maskulin, ha-ha-ha… dan membuat orang tidak bertanya lebih jauh. Kalau jawabnya jatuh dari motor, panjang lagi: di jalan apa, motornya merek apa.

Oke, oke, tapi sejujurnya terganggukah Anda kalau soal ini bolak-balik dibahas?

Lama saya berpikir soal itu. Orang bertanya, orang menulis tentang saya, soal kesedihan, kursi roda ini, dan sebagainya. Sampai saya putuskan di satu titik: kalaulah kisah “kesedihan” ini bisa membuat saya memberikan inspirasi kepada banyak orang untuk tidak putus asa, so be it! Saya tidak keberatan melakukannya.

Ini klasik, tapi kami ingin tahu: dari mana sumber terbesar kekuatan Anda?Orang tua saya, yang tidak pernah memperlakukan saya secara berbeda setelah saya sakit. Teman-teman saya di Lab School (SMU Lab School Rawamangun--Red.) dan IPB. Saya merasa hidup dan sangat kuat kalau dipercaya bahwa saya mampu. Dan itu yang saya dapatkan dari mereka. Lalu saya bertemu dengan istri saya, yang selalu menjadi sumber utama kekuatan saya.



***


Di antara kumpulan sahabatnya, dengan mudah kita menemukan nama Dinar Putri Sriardani Sambodja. Keduanya berjumpa di General Electric, dan berkawan. Dinar, menurut Handry, teman yang asyik. Keduanya gemar membaca, berdebat, nonton aneka genre film, ngobrol yang seru sampai remeh-temeh. Oh ya, dan selalu ada musik. Dinar bermain piano, Handry memetik gitar sekadarnya.

Perkawanan itu beralih warna secara intens tatkala cinta tumbuh--perlahan dan solid. Handry jatuh cinta pada Dinar yang berotak encer--kini dia notaris yang punya kantor sendiri--dan berparas indah, dengan garis kecantikan “amat Indonesia”: rambutnya legam, menjuntai ke pinggang; kulitnya cokelat tembaga, seperti warna madu cair. Handry melukiskan Dinar dalam metafora yang manis: “She is a rainbow with strong color of friendship,” ujarnya. “Kami satu kubu banget, amat clicked, saya nyaman sekali bersamanya.”

Dua sahabat ini menikah pada suatu hari di bulan Mei 2001.



***


Kami dengar Anda mau naik haji?

Ya, saya berangkat ke Tanah Suci awal November.

Maaf, lagi-lagi ini pribadi: boleh tahu hubungan Anda dengan Tuhan sejauh ini?

Baik, baik sekali. Di awal-awal sakit, saya komplain terus-menerus, bertanya terus-menerus, tapi sekarang jauh lebih baik. Seperti yang saya katakan kepada Anda, and it’s true: kini saya bisa melihat dengan jernih, betapa kanker itu telah memberi saya jauh lebih banyak ketimbang mengambilnya. ***

Wawancara ini dipublikasikan di U-Mag (majalah gaya hidup pria Kelompok Tempo Media) edisi November 2010.

http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2010/12/04/brk,20101204-296679,id.html

Kamis, 06 Januari 2011

Grow with Character! (100/100) Series by Hermawan Kartajaya - My Name Is Tan! (and I am Proud to be Indonesian)


My Name Is Tan! (and I am Proud to be Indonesian)

Surabaya, 1 Mei 2010.
Pada hari itu MarkPlus Inc tepat berusia 20 tahun. Selesailah sudah tugas saya untuk menulis seratus artikel di Jawa Pos yang dimuat setiap hari berturut-turut. Kumpulan tulisan tersebut diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama dari Kompas Gramedia sebagai suatu buku. Sesuatu yang unik dan barangkali belum pernah terjadi. Hal itu bisa terjadi karena kebesaran hati kedua belah pihak.

Dalam menuliskan cerita bagaimana saya mendirikan, mempertahankan, serta mengembangkan MarkPlus, saya menggunakan bahasa bercerita. Gaya bercerita orang Surabaya yang lugas dan apa adanya.

Sering saya harus mengingat-ingat apa yang terjadi sejak 20 tahun lalu sampai sekarang. Urutan cerita pun sering tidak benar-benar sesuai dengan waktunya. Kadang maju ke depan, kemudian mundur lagi.

Tapi, itulah saya. Jelek sekali dalam mengingat masa lalu! Saya lebih mudah berimajinasi tentang masa depan ketimbang mengenang masa lalu. Kalau Anda membaca kumpulan tulisan tersebut, sering terasa muatan emosional saya. Bahkan, sering kurang rasional.

Karena itu, sering mudah dibaca tulisan saya meledak-ledak. Tapi, di bagian lain, terasa sangat lemah dan memilukan. Terus terang, di beberapa tulisan, saya menulis sambil menangis.

Saya selalu menulis dengan hati!

Ada satu lagi rahasia kecil dari kumpulan tulisan itu. Saya menulis semuanya cukup dari BlackBerry Onyx saya! Terus terang, saya adalah orang yang agak gaptek. Karena itu, senang sekali ketika ada gadget yang bisa push e-mail dan dibawa ke mana-mana. Saya menulis dari mana saja. Bisa sambil menunggu pesawat di airport, tapi yang sering di atas pesawat.

Kalau tidak bisa tidur, persis seperti pada tulisan terakhir kali ini, saya menulis di Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, Makassar, Bali, Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok, London, Dublin, dan Belfast! Saya bisa mengirimkan tulisan-tulisan itu dari mana saja dan kapan saja. Tanpa disadari, saya kayaknya memang lebih mudah berpikir tentang masa depan seperti the youth walaupun sudah senior.

Saya lebih sering terbawa emosi seperti the women ketimbang men yang cenderung rasional. Juga, berusaha keras untuk memanfaatkan wireless online seperti the netizen ketimbang seorang citizen yang sangat primitif.

Seperti sudah saya tulis, youth, women, dan netizen adalah new wave subcultures. Sedangkan senior, men, dan citizen adalah legacy subcultures. Walaupun sudah berusia 62 tahun menjelang 63 tahun, pria, dan sering bangga sebagai arek Suroboyo, saya berusaha untuk bisa berpikir seperti pemuda 26 tahun, berperilaku seperti metroseksual, dan berkomunikasi sambung rasa lewat gadget.

Andrie Djarot, Abang Jakarta 2005 yang juga host Apa Kabar Indonesia Pagi di TVOne, membuat avatar saya seperti itu! Anda bisa melihatnya di sampul buku kumpulan tulisan tersebut. Terima kasih, Andrie, Anda melihat saya seperti itu!

Nah, bagaimana MarkPlus Inc setelah 20 tahun? What next? Kebetulan, cerita MarkPlus ini sudah ditulis sebagai Business Case oleh Prof Hooi Den Huan untuk Nanyang Business School Case Center. Case A menceritakan bagaimana MarkPlus menjadi pionir dan berkembang di Indonesia. Sedangkan case B bercerita tentang pengembangan MarkPlus berikutnya ke ASEAN.

Dua case itu selalu didiskusikan di kelas-kelas MBA, EMBA, Executive Education Program NBS, baik di Singapura maupun Tiongkok. Bisa masuk kelas marketing, juga kelas entrepreneurship.

Kebetulan, Den Huan berkali-kali dipilih sebagai the best professor oleh mahasiswa NBS. Sekarang dia malah jadi direktur NTC atau Nanyang Technopreneurship Center.

Nah, untuk menyongsong HUT ke-20 MarkPlus Inc, Den Huan dibantu Waizly Darwin akan menulis case C. Tentang apa?

Tentang situasi MarkPlus Inc saat ini dan transformasi berikutnya. Saat ini kami berada di Jakarta, Surabaya, serta Bandung dengan gedung sendiri yang lengkap dengan kelas dan FGD atau focus group discussion.

Selain itu, kami punya kantor cabang di Semarang, Medan, Makassar, Denpasar, dan Palembang. Di Singapura kami punya kantor penghubung. Di Bangkok dan Ho Chi Minh City kami punya kantor perwakilan. Sementara itu, di Kuala Lumpur kami juga punya kantor yang lengkap dengan kelas dan FGD.

Ada tiga divisi, yaitu MarkPlus Consulting untuk jasa konsultasi, MarkPlus Insight untuk riset, dan MarkPlus Institute of Marketing (MIM) untuk pelatihan. Selain itu, ada marketeers yang merupakan platform dari komunitas marketer secara online dan offline.

Marketeers merupakan integrasi dari klub (the club), majalah (the mag), dan internet (the net). Anda juga bisa bergabung ke www.the-marketeers.com. Itulah transformasi pelayanan yang kini dilakukan oleh MarkPlus Inc dari sebuah organisasi legacy menjadi new wave.

Sedangkan organisasi MarkPlus Inc dari waktu ke waktu akan ditransformasikan menuju semakin youth, women, dan netizen. Akan diberikan lebih banyak kesempatan kepada MarkPlusers muda untuk berkreasi.

Saat ini MarkPlus Inc sudah mempunyai lebih banyak kepala cabang perempuan ketimbang pria. Nanti diberikan lebih banyak lagi kesempatan kepada perempuan untuk memimpin.

Selain itu, keseimbangan antara online and offline process harus terus dikonkretkan supaya makin banyak MarkPluser yang punya gaya hidup dan kerja netizen. Sementara itu, MarkPlusers senior, men, dan citizen terus didorong untuk menyesuaikan diri.

Transformasi ketiga adalah pelembagaan MarkPlus yang makin solid. Supaya bisa berkelanjutan, MarkPlus Inc tidak boleh bergantung kepada siapa pun, termasuk saya.

MarkPlus Inc bukan Hermawan Kartajaya atau HK Fan Club. MarkPlus Inc harus jadi sebuah kapal, KRI MarkPlus, yang mampu berlayar menembus badai. Siapa pun dalam kapal harus berkontribusi untuk ikut memperkukuh kapal tersebut. Kapal harus terus berlayar dengan kencang walaupun beberapa anak buahnya, bahkan nakhodanya, berganti.

Karena itu, saat ini Michael Hermawan menyiapkan semua sistem sumber daya manusia dan pemberdayaan alumni. Grow with character berdasar excellent-professionalism-ethical kini disusun menjadi suatu konsep praktis yang solid buat setiap MarkPluser.

Sedangkan Alex Mulya menyiapkan grow with character menjadi suatu paket pelatihan yang siap ditawarkan untuk membantu perusahaan lain! Ringkasannya ditambahkan pada buku kumpulan tulisan tersebut.

Saya mengikuti jejak Jack Welch ketika memimpin GE. Jangan malu untuk belajar dari orang lain dan jangan pelit untuk membagi kepada orang lain. Bukankah hidup ini baru bermakna apabila saling berbagi?

Akhir kata, saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada Azrul Ananda dan Leak Kustiya dari Jawa Pos yang telah memberikan kolom Grow with Character selama seratus hari berturut-turut.

Juga kepada Priyo Oetomo dan Dwi Helly Purnomo dari Gramedia Pustaka Utama yang setuju untuk menerbitkan tulisan saya menjadi sebuah buku dengan judul yang sama.

Last but not least, saya berikan penghargaan setinggi-tingginya kepada para pembaca setia kolom ini. Besok kolom ini tidak muncul lagi, tapi semoga Anda sudah banyak terinspirasi olehnya. Kirimkan komentar Anda ke www.the-marketeers.com, pasti kami jawab.

Terakhir dari yang paling akhir…

Anda sudah nonton film yang sangat new wave dan membuat saya meneteskan air mata? Yaitu, My Name is Khan (and I am not a terrorist). Kalau belum, silakan cari DVD-nya dan tontonlah supaya Anda benar-benar bisa menangkap makna dari seratus tulisan kali ini.

Apa itu?

My name is Tan! (and I am proud to be Indonesian). Sampai jumpa di MarkPlus Festival pada 1 Mei 2010 di Hotel Shangri-La Surabaya! The marketing day of Surabaya! (*

Link : http://blog.the-marketeers.com/

Grow with Character! (99/100) Series by Hermawan Kartajaya - Grow with (Excellence, Professionalism, and) Character!


Grow with (Excellence, Professionalism, and) Character!


ADA sebuah buku yang menginspirasi saya. Judulnya? Every Business is a Growth Business! Di dalam buku itu dikemukakan hasil riset si pengarang. Basically, temuannya hanya dua.
Pertama, bisnis yang tidak tumbuh akan mati! Kenapa? Sebab, pesaingnya tumbuh dan akan mempunyai better bargaining position. Pelanggan juga nggak suka pada perusahaan yang stagnan. Tidak berkembang dan tidak punya inovasi. Mereka pasti pindah ke pesaing yang lebih kreatif.

Alasan berikutnya, ada tekanan dari dalam. Karyawan merasa tidak punya masa depan. Yang bagus akan keluar, sedangkan yang “kartu mati” atau deadwood tinggal. Karena itu, kalau mau sustainable, sebuah perusahaan harus grow.

Kedua, pertumbuhan itu harus disertai kualitas. Jangan hanya mengejar top line atau market share. Bottom line atau profit bersifat penting supaya pertumbuhan jadi sehat. Karena itu, mesti ada profitable growth. Pertumbuhan ditopang dengan kekuatan untuk tumbuh terus!

Nah, di MarkPlus kami percaya akan kata grow. MarkPlus harus grow, tapi semua MarkPluser harus grow juga. Tanpa itu semua, MarkPlus tidak bisa bertahan dua puluh tahun! Buat kami, grow dengan kualitas hanya bisa terjadi kalau excellent jadi pegangan semua orang. Kalau grow with excellence, kita bisa mencapai excellent growth.

Michael Hermawan adalah role model di MarkPlus untuk itu. Mulai high school di Upland, California, lulus dengan indeks prestasi 4,0, dan mendapatkan seritifikat penghargaan dari presiden US ketika itu. Dia melanjutkan di UT Austin dan menyelesaikan pendidikan dalam waktu tujuh semester dengan GPA 3,97.

Dia bekerja di Andersen Consulting sebelum melanjutkan ke Kellog School of Management di Northwestern University, Chicago. Sesudah menamatkan program MBA prestisius dalam waktu setahun, dia bekerja di AT Kearney selama tiga tahun, baru kemudian balik ke MarkPlus.

Sekarang dia adalah COO atau chief operating officer di MarkPlus. Dialah yang menuliskan empat elemen excellence setelah mempelajari berbagai literatur.

Pertama adalah commitment atau purpose. It is not about winning itself, but about paradigm to win! We must consciously choose excellence. Itu benar! Banyak orang yang terima hidup tenang dan cukup jadi medioker saja.

Nah, orang seperti itu tidak punya purpose untuk menang. Ya nggak pernah menang dan mana bisa menang? Karena itu, supaya bisa excellent, harus ada redefinisi paradigma dulu. Kedua adalah opening your gift atau ability. Every person in the world has the ability to be excellent in at least one area. See your inner potential.

Elemen kedua itu perlu. Sebab, tidak ada gunanya Anda punya paradigma untuk menang, tapi tidak punya ability. Diingatkan, tiap-tiap orang sebenarnya diberi Tuhan kemampuan paling tidak di satu area. Carilah dan kembangkan! Karena lanskap berubah terus, ability pun harus dikembangkan terus. Kalau tidak, ya semakin tidak kompetitif dan akhirnya mana bisa excellent. Jadi, excellent bersifat dinamis.

Ketiga, being the best you can be atau motivation. It is not about talent. It is about getting the best shape possible given our God given potential. Artinya? Excellent sebenarnya bukan cuma talenta. Tuhan pasti sudah memberikan sesuatu untuk Anda. Maksimalkan yang ada itu supaya tercapai hasil yang optimal.

Keempat, continuous improvement. We must set the bar and continually raise it from time to time. Orang Jepang menyebutnya kaizen. Besok harus lebih bagus daripada hari ini. Jangan berpuas diri. Nah, excellent seperti itulah yang kami inginkan ada di MarkPluser. Kami tidak mungkin merekrut superstar semua. Tapi, orang biasa yang mau seperti itu akan membentuk suatu excellent organization!

Nah, grow with excellence itulah yang harus disambungkan dengan empat passion yang sudah dijelaskan kemarin (27/4). Tanpa passion yang kuat terhadap empat hal, yaitu knowledge, business, service, dan people, sama saja tidak ada profesionalisme dalam mencapai excellent growth tersebut.

Akhirnya, saya mengakhiri grow with excellence with professionalism tersebut dengan menggabungkannya dengan enam pilar karakter Josephson Institute of Ethics. Apa itu? Luar biasa! Saya menemukan enam pilar dari good character tersebut dan langsung jatuh cinta! Pertama, trustworthiness. Sebisanya, pilar itu dipupuk sejak anak berusia 4 sampai 6 tahun supaya tidak bohong dan berdusta. Berani membela kebenaran. Itulah karakter paling dasar.

Kedua adalah responsibility, yang sebaiknya diajarkan sejak umur 6 sampai 9 tahun. Di pilar tersebut ditanamkan sikap disiplin dan bertanggung jawab terhadap pilihan yang diambil untuk berpikir sebelum bertindak dan mempertimbangkan konsekuensi.

Ketiga adalah respect. Yakni, dibiasakan memperlakukan orang lain dengan hormat. Mengikuti the golden rule: “Perlakukanlah orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan.” Berlaku sopan dan jangan melukai orang lain. Sifat itu perlu ditanamkan sejak umur 9 sampai 11 tahun.

Keempat adalah fairness. Anak-anak umur 11 sampai 13 tahun perlu mulai menjiwai pillar itu agar belajar mengikuti aturan yang berlaku. Tidak berprasangka dan tidak sembarangan menyalahkan orang lain, juga berbagi dengan sesama.

Kelima adalah caring yang harus diterapkan sejak masa remaja. Inti pilar itu adalah bertindak dengan ramah dan peduli kepada orang lain. Memaafkan orang lain dan membantu mereka yang kesulitan.

Pilar keenam dan terakhir adalah citizenship yang dibangun sejak meninggalkan masa remaja dan mulai menjadi dewasa. Pilar itu berbicara mengenai berperan aktif dalam mengembangkan komunitas sekitar. Juga, bekerja sama dan bertetangga dengan baik, mematuhi hukum dan aturan, serta menghargai otoritas.

Nah, saya pengin supaya MarkPlus bisa mengadopsi enam pilar yang diakui secara internasional itu. Di US, bahkan polisi diajari enam karakter tersebut. Saya melihat, good character itu pasti didukung semua kitab suci agama apa pun. Saat ini dan seterusnya, karakter lebih penting daripada apa pun.

Kenapa Avatar laris manis? Saya membahasnya setelah nonton bareng Philip Kotler beserta keluarga, termasuk cucunya, pada 1 Januari 2010 di Long Boat Key, Florida. Itulah cara saya merayakan tahun baru yang unik. Hasil diskusi saya dengan Kotler balik kepada karakter tersebut. Penduduk Pandora yang kelihatan primitif padahal sangat high tech tersebut punya karakter terpuji.

Sedangkan orang bumi yang pengin ambil mineral di Pandora tapi akhirnya kalah dan balik ke bumi tidak punya karakter yang bagus. Sebuah film yang pas dengan spirit Marketing 3.0, di mana karakter adalah segalanya dalam bisnis.

Di MarkPlus, model untuk karakter adalah Jacky Mussry PhD. Arek Suroboyo tersebut anak orang terkenal zaman dulu, yaitu Charles Mussry, yang rumahnya sekarang jadi Plaza Surabaya di Jalan Pemuda. Pernah sekolah D-3 teknik sipil di ITS, kemudian S-1, S-2, dan S3-nya di Universitas Indonesia.

Bersama MarkPlus sejak 1997, dia memang benar-benar simbol karakter kami. Tidak pernah mau beli DVD bajakan, selalu bayar tilang di pengadilan, dan pakai software asli. Dulu dia adalah juara disc jockey se-Indonesia, mangkal di Elmi Surabaya. Sekarang dia adalah CKO atau chief knowledge officer di MarkPlus, merangkap dean of MarkPlus Institute of Marketing.

Tugasnya adalah mengoordinasikan pengembangan knowledge di MarkPlus di antara tiga divisi, yaitu consulting, research, dan education.

We are always proud of him! Jadi? Lengkaplah sudah!

Menjelang HUT ke-20 MarkPlus di acara MarkPlus Annual Gathering pada 12 Desember lalu, semua MarkPluser diminta menandatangani komitmen baru. Kami menyebutnya sebagai excellence-profesionalism-ethics atau EPE.

We must grow, but grow with excellence. Not only with excellence, but also with character. Jadi, lengkapnya grow with excellence with professionalism with character. Ringkasnya? Grow with character! (*)

Grow with Character! (98/100) Series by Hermawan Kartajaya - MarkPlus Mix: Passion for Knowledge, Business, Service, and People


MarkPlus Mix: Passion for Knowledge, Business, Service, and People


KALAU Marketing Mix punya 4P, MarkPlus juga punya 4P. Tapi, isinya berbeda. Bukan product, price, place, dan promotion, tapi empat passion yang harus dipunyai oleh para MarkPlus-ers! Saya tulis sejak lima tahun lalu untuk memberikan guidance bagi setiap insan MarkPlus.
Passion pertama adalah passion for knowledge. Saya tulis ini sebagai yang pertama karena itulah “nyawa” MarkPlus. Mempunyai passion for knowledge artinya, semua orang harus mau mengembangkan diri terus-menerus.

Landscape yang berubah mengharuskan kita mengembangkan diri pula. Tanpa ini, MarkPlus hanya akan menjadi sebuah perusahaan yang “statis”. Ini juga sejalan dengan apa yang saya lakukan selama ini. Pengembangan konsep marketing dari waktu ke waktu. Bahkan, bukan “reaktif”, tapi “proaktif”. Begitu melihat weak signal, kita selalu berani “ambil posisi”.

MarkPlus selalu berusaha jadi trend-setter, bukan hanya bisa jadi follow the leader. Mengapa? Ya, karena sejak awal, MarkPlus sudah jadi pionir. Sementara belum ada yang percaya bahwa marketing diperlukan, MarkPlus sudah mulai. Bahkan, langsung meredefinisi pengertian marketing itu sendiri. Dari “fungsi” jadi “jiwa” perusahaan. MarkPlus selalu ahead of time.

Pada 1990-an, MarkPlus sudah membuat “Marketing Plus 2000″. Sekarang di awal dekade ketiga milenium ketiga, MarkPlus sudah mengeluarkan New Wave Marketing yang akan benar-benar jadi marketing “baru” pada 2020!

Untuk mengonkretkan passion pertama ini, di kantor Jakarta, MarkPlus punya Philip Kotler Library dengan 3.000 plus buku marketing yang terus updated. Ditanggung merupakan perpustakaan marketing paling lengkap di Indonesia, jangan-jangan di ASEAN. Saya berani mengatakan ini karena saya tahu perpustakaan yang dipunyai Marketing Institute of Singapore dan berbagai kampus di sana.

MarkPlus juga tidak segan-segan memberikan scholarship pada yang “bisa” dan “dedikatif”. Kita kirim orang ke Nanyang, MIT, sampai Kellogg sekalipun untuk mendapatkan master. Para researcher juga sudah beberapa kali mengikuti konferensi internasional di berbagai negara. Tapi, pembelajaran terbesar di MarkPlus adalah di “internal” kita sendiri.

Kita memang belajar dari jurnal, buku, majalah, konferensi, sekolah bisnis, tapi di MarkPlus semuanya diolah menjadi “Model” sendiri. Itulah yang membuat MarkPlus jadi unik dan otentik. Punya DNA tersendiri! We don’t only read and teach other people’s concept, but we also write and practice our own model!

I am a teacher but I am also a thinker! Saya paling gak suka disebut “motivator”, karena saya adalah a composer who can sings!

Yang kedua adalah passion for business. Antara yang pertama dan kedua ini ada kaitan sangat erat. Saya merasa “MarkPlus is a Business Knowledge but also a Knowledge Business”. Artinya?

Kita membuat model-model marketing yang sangat berguna untuk bisnis. Pada saat yang sama, kita juga bisnis yang bergerak di bidang knowledge, khususnya marketing. Jadi, ini untuk mempertegas bahwa MarkPlus dasarnya adalah perusahaan, bukan LSM. Semuanya harus ada perhitungan bisnisnya. Bahwa akhirnya, bisnis itu “berbaur” dengan LSM, itu sih urusan lain.

Karena itu pula, kita menganjurkan semua orang di MarkPlus supaya punya jiwa entrepreneur. Dengan ini, kita juga sekaligus menegaskan bahwa kita harus mengelola MarkPlus sebagai suatu perusahaan. Punya pesaing, punya pelanggan, juga menghadapi persaingan yang cukup ketat. Dari “atas” yang berupa MNC dan dari “bawah yang orang-orang lokal dan suka membanting harga! Sekaligus dengan passion kedua ini, MarkPlus akan fokus di bidang marketing knowledge business itu sendiri.

Passion for business saya tulis sebagai passion kedua setelah passion for knowledge karena knowledge comes first! Saya percaya, kalau kita “eat, sleep, and dream” with the “business knowledge” so the “knowledge business” akan berjalan dengan sukses. Jangan dibalik!

Ketiga adalah passion for service. Mengapa? Ya, karena MarkPlus adalah a service knowledge business. Kita tidak berada pada industri manufacturing. Karena itu, setiap orang MarkPlus harus bisa “melayani” pelanggan.

Servis di MarkPlus bukanlah after sales service, tapi harus benar-benar menjadi service with care. MarkPlus harus menjadi “garda terdepan” untuk urusan servis. Karena itulah, kita juga sudah punya dan siap mengembangkan Christopher Lovelock Center for Asian Service.

Kita juga bekerja erat dengan Prof Jochen Wirtz di NUS dan Ron Kaufman dari Up Your Service. Kita sedang mengembangkan model care yang sangat berbeda dengan service. Di MarkPlus, siapa pun orangnya, harus mau dan “berani” memberikan servis. Bukan melayani raja, tapi memberikan servis penuh kepedulian layaknya kepada seorang teman yang kita sayangi.

P keempat adalah passion for people. Kita ajari orang-orang MarkPlus untuk tidak look down ke bawah, tapi tidak “minder” ke atas. Selain itu, semuanya diharapkan supaya bisa “inklusif ” ke kiri dan ke kanan.

Tidak ada gunanya memperhitungkan bangsa, suku, dan agama yang “vertikal”. Semuanya dididik jadi horizontal citizen of the world. Antara passion ketiga dan keempat ini ada hubungan yang sangat erat juga. MarkPlus is a People-oriented Service and A Service-based People Organisation!

Kita adalah perusahaan jasa berbasis orang, bukan teknologi. Tapi, kita juga suatu organisasi yang terdiri atas manusia-manusia berbasis servis.

Nah, kalau keempat passion ini diintegrasikan jadi satu, itulah MarkPlus! Saya menjadi personal model untuk empat P itu di MarkPlus. Walaupun selalu “gagal sekolah”, saya terus-menerus memburu dan mengembangkan pengetahuan.

Walaupun saya lahir di kampung sebagai anak pegawai negeri dan tidak punya keluarga wirausaha, saya terus mengembangkan bisnis sendiri. Walaupun sudah kelamaan jadi guru SMP dan SMA dan sampai sekarang pun punya jiwa “menggurui”, saya berusaha keras untuk melayani orang sebisa-bisanya.

Walaupun A Senior Citizen Man dari sononya, saya berusaha keras untuk selalu berjiwa youth, sensitif seperti women dan tidak gaptek seperti netizen.

Taufik yang sudah bersama saya mulai 1995 menjadi model saya di MarkPlus. Dia juga berasal dari kampung Salatiga di Jawa Tengah yang dulu pernah sekolah di ITB selama setahun.

Tapi, kemudian dia lulus di FE UI Jurusan Akuntansi. Dia sekarang adalah lulusan Nanyang Fellows, suatu program master yang elite dari Nanyang Business School berkolaborasi dengan MIT.

Passion for Knowledge-nya sejak dari dulu luar biasa. Taufik adalah walking encyclopedia di MarkPlus, tempat orang lain bertanya. Sedangkan passion for business-nya berkembang pesat walaupun bukan dari keluarga pedagang.

Sekarang dia malah jadi chief business officer atau CBO di MarkPlus. Tugasnya mengembangkan bisnis MarkPlus secara keseluruhan. Passion for service-nya luar biasa. Dia selalu mengutamakan external customer ketimbang urusan internal.

Dia bisa dan mau dihubungi kapan saja. Dia selalu “rewel” pada hasil riset yang akan dipresentasikan kepada klien. Sedang passion for people-nya juga hebat. Taufik bisa berbicara dengan siapa saja. Seorang pemimpin yang dekat, tapi disegani anak buah. Taufik juga tidak pernah “minder” bertemu siapa pun. Mau menteri, CEO, atau siapa pun.

Di MarkPlus, Taufik adalah orang yang “paling” mirip dengan saya dalam hal 4P! Dan, 4P itulah yang membedakan MarkPlus dari organisasi lain yang sejenis. Karena 4P itulah, jiwa orang MarkPlus-er. Yang cocok akan stay terus di atas “kapal” MarkPlus. Yang nggak cocok, biasanya ya tidak akan lama bertahan.

Apa boleh buat, memang harus ada “pemurnian” dari waktu ke waktu. (*)

Grow with Character! (97/100) Series by Hermawan Kartajaya - Youth, Women, and Netizen are The New Wave Subcultures


Youth, Women, and Netizen are The New Wave Subcultures


Pada 18 November 2009, saya tepat berusia 62 tahun. Tahun ketiga di era HK 3.0 yang dimulai ketika saya masuk ke usia 60 tahun. Tema kali ini adalah A Whole New Wave!
Artinya, saya mengusahakan untuk benar-benar bisa jadi a new wave person. Bukan jadi orang senior yang merasa punya masa lalu yang penuh perjuangan, lantas memaksakan pelajarannya kepada the youth. Harus sebaliknya, saya percaya bahwa pada saat ini, justru seniorlah yang harus belajar dari the youth. Sebab, the youth is the future!

Para marketer yang ingin memenangkan mind share haruslah memegang the youth. Azrul Ananda, putra Dahlan Iskan, adalah salah satu contoh konkret, bagaimana dia membuat dan mengembangkan DeTeksi, termasuk DBL-nya. Azrul adalah masa depan Jawa Pos. Pak Dahlan Iskan adalah orang yang membangun Jawa Pos dari reruntuhan sampai bisa sebesar sekarang. Tapi, tantangan ke depan sangat berbeda. Jawa Pos tetap terasa muda karena Azrul Ananda.

Selain itu, saya harus semakin sensitif seperti the women. Saya juga percaya bahwa women sebenarnya adalah yang akan menentukan arah dunia di masa depan. Bukan cuma ditandai munculnya beberapa perempuan sebagai pemimpin negara dan perusahaan, tapi saya tidak bisa membayangkan sebuah dunia tanpa perempuan.

Anda bisa? Women over men, is the soft power behind.

Inilah yang lebih dahsyat. Bagi orang marketing, kalau Anda mau menguasai market share, kuasailah women karena mereka membeli untuk family and friends. Sedangkan men membeli untuk dirinya sendiri.

Yang terakhir, saya harus berusaha terus menjadi netizen, bukan sekadar citizen! Saya percaya pada 2020 nanti sikap dan perilaku orang akan sangat berbeda dari sekarang. Orang mencari informasi, membeli barang, bermain, dan lain-lain lewat internet. Mereka akan makin suka bertemu dengan orang yang sangat berbeda karena di internet tidak ditanya dari mana, warga negara apa, suku apa, dan agama apa. Sedangkan citizen selalu merasa punya hak lebih hebat karena dia adalah warga negara, putra daerah, atau bahkan pribumi.

Pribumi baru di era new wave nanti adalah para netizen yang memegang paspor Facebook, Twitter, Google, dan Youtube! Atau mungkin yang lain lagi.

CEO Kompas Gramedia Agung Adiprasetyo adalah contoh nyata yang sudah melihat trend ini. Pak Agung berani berinvestasi besar-besaran di Kompas.com selagi Kompas masih sangat berjaya. Dia menggaungkan kedua media legacy dan new wave itu menjadi suatu kekuatan synergetic yang dahsyat.

Mengapa?

Karena Pak Agung percaya bahwa netizen kelak akan lebih powerful dibanding citizen. Untuk para marketer, kalau Anda ingin memenangkan heart share, menangkanlah hati para netizen. Sebab, mereka lebih berkomunikasi menggunakan hati di internet. Lihat bagaimana akhir dari kasus Bibit-Chandra dan Prita yang diselesaikan secara off-court.

Saya juga berkampanye di mana-mana bahwa youth, women and netizen are the three new wave subcultures yang harus dipegang kalau Anda mau melakukan new wave marketing.

Saya juga sangat percaya bahwa ketiga super communities tersebut akan menjadi fondasi bagi marketing pada 2010 dan selanjutnya. Itulah yang saya katakan di MarkPlus Conference pada 10 Desember 2009 di Pacific Place Jakarta.

Saya sendiri berharap bisa jadi a whole new wave person seperti itu, walaupun belum tentu bisa. Sejak memasuki Era HK 1.0 di usia 60 tahun, saya memang lebih banyak merenung untuk mencari terus makna hidup. Ternyata, saya memang manusia yang sangat lemah dan melakukan banyak kesalahan dalam perjalanan hidup ini.

Baik sebagai pribadi kepada teman-teman, di mana saya merasa sangat kurang banyak berbuat sesuatu. Juga sebagai seorang kepala keluarga, saya jauh dari sempurna. Sebagai pendiri MarkPlus, saya juga sering mengambil keputusan yang salah. Ya, tapi itulah saya, yang penuh kelemahan. Kata Confucius, setelah berusia 60 tahun, orang tidak boleh bersalah lagi dalam tindakan dan perilakunya. Tapi, saya tetap tidak bisa seperti itu.

Mudah-mudahan dengan menjadi a whole new wave person, saya akan bisa jadi lebih baik. Semangat saya untuk memberikan kontribusi kepada Indonesia lewat marketing pun semakin besar. Saya lahir, besar, hidup, dan akan mati di Indonesia. Negeri inilah yang memberi saya kesempatan untuk mendirikan MarkPlus yang akan ber-HUT ke-20 pada 1 Mei 2010 di Surabaya nanti.

Indonesia yang memberikan kesempatan untuk mengembangkan konsep marketing, dari Marketing Plus 2000 versi 1 sampai 3 dan dilanjutkan sampai ke New Wave Marketing. Belum tentu itu akan terjadi kalau saya lahir, besar, dan hidup di negara lain.

Indonesia itu kaya, indah, dan ramah, serta memberikan kesempatan pada semua orang untuk berkembang. Karena itu pula, saat ini saya banyak membantu berbagai instansi. Sudah lima tahun saya menjadi penasihat ahli Kapolri dan mengajar di Sespati Polri. Saya juga satu-satunya orang nonmuslim yang ditunjuk Bank Indonesia untuk duduk di Komite Perbankan Syariah. Saya adalah Special Ambassador for Indonesia Tourism dari Depbudpar. Saya juga sering mengajar di Lembaga Administrasi Negara dan Departemen Luar Negeri.

Saya juga duduk di Majelis Wali Amanah Universitas Indonesia, Dewan Sekolah SBM-ITB, ketua Tim Persiapan SBM-ITS dan Dewan Penyantun Universitas Katolik Soegiyapranata. Selain itu, saya beberapa kali membantu NU, Muhammadiyah, dan Pesantren Langitan.

Saya bersyukur kepada Prof Imam Robandi dari ITS, selaku Dikdasmen Muhammadiyah se-Jawa Timur yang pernah membawa saya menjadi keynote speaker di hadapan 7.500 guru di Universitas Muhammadiyah Malang. Dan, di situlah, Pak Din Syamsudin menobatkan saya sebagai “Ayatullah Marketing Indonesia”.

Itu semua saya lakukan sebagai bagian dari giving back to the country kecil-kecilan, karena saya tidak mampu melakukan yang besar-besaran untuk Indonesia tercinta. Tapi, saya percaya, banyak orang seperti saya yang bisa berbuat lebih besar untuk Indonesia. (*)

Grow with Character! (96/100) Series by Hermawan Kartajaya - Bali Mengungguli Kinabalu dengan New Wave Marketing


Bali Mengungguli Kinabalu dengan New Wave Marketing


PROFESOR Sang Lee adalah seorang Korean American yang luar biasa. Dua saudaranya yang tinggal di Korea adalah pejabat tinggi negara, pernah jadi menteri segala. Sedangkan Sang Lee memilih tinggal di Amerika dan menjadi profesor bidang operational research yang disegani.

Kali pertama saya diperkenalkan oleh Prof Hooi Den Huan pada 2008, Sang Lee sudah menyelenggarakan Pan Pacific Management Conference 25 kali berturut-turut tiap tahun! Berpindah-pindah tempat, dari satu kota ke kota lain. Tiap tahun, ada sekitar 300-500 peserta -kebanyakan profesor- menyempatkan datang untuk berkumpul.

Membicarakan topik di bidang manajemen yang lagi in, baik di sesi pleno maupun sesi-sesi paralel. Setiap tahun ada ratusan riset akademis yang dipresentasikan oleh para profesor muda dan kandidat doktor.

Den Huan mengatakan kepada saya bahwa dirinya sudah ikut “keliling” Sang Lee lebih dari sepuluh tahun. “Very very good for networking, Hermawan.”

“I am thinking to propose to him to organize it in Indonesia!” Wah, mendengar hal tersebut, saya terpanggil untuk menjadikan Indonesia tuan rumah. Why not?

Kita kan perlu mengekspos lebih banyak akademisi dan peneliti Indonesia ke panggung internasional. Sambil menjual MICE atau meeting, incentive, conference, and exhibition. Sudah beberapa tahun, para pengajar Sekolah Bisnis dan Manajemen atau SBM ITB ikut aktif di Asia Pacific Management Conference.

Sejak didirikan dulu, saya memang diajak aktif oleh Pak Kuntoro Mangkusubroto, yang sekarang menjadi ketua Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan Prof Ir Surna Tjahja Djajadiningrat MSc PhD.

Saya memperkenalkan Den Huan untuk juga ikut duduk sebagai international advisor di SBM ITB. Den Huan juga yang memperkenalkan Sang Lee ke SBM ITB. Bahkan, Sang Lee pernah datang ke Bandung sebagai tamu SBM ITB.

Jadi, dia pernah melihat Indonesia on the spot, tapi belum berpikir menyelenggarakan konferensi tahunannya di Indonesia. Terlalu banyak yang menawari Sang Lee untuk jadi host tiap tahun.

Waktu itu kota penyelenggara untuk konferensi ke-27 pada 2010 belum ditentukan. Tapi, Sang Lee sudah “biasa” memilih Malaysia. Sebagai alternatif, saya menawarkan Bali kepada Sang Lee lewat Den Huan. Maklum, saya belum pernah bertemu muka dengan Sang Lee pada 2007.

Kami baru berkomunikasi lewat e-mail. Mendengar kata Bali, dia langsung tertarik untuk mempertimbangkannya. Dia bilang akan meninjau dan membandingkan Kota Kinabalu atau KK dengan Bali. Wah, itu tantangan buat saya! Saya langsung menghubungi Menbudpar Jero Wacik untuk minta dukungan. Pak Jero Wacik sangat mendukung dan langsung menghubungkan saya dengan Dirjen Pemasaran Dr Sapta Nirwandar.

Pak Sapta meminta Direktur MICE Nia Niscaya untuk mendalami masalah itu. Ibu Nia kebetulan adalah arek Suroboyo yang juga Bonek. Kami berdua lantas mengatur strategi untuk memenangkan persaingan dengan KK.

Sebelum meninjau Bali, Sang Lee dijamu habis-habisan di KK. Saya mendapatkan info dari Den Huan bahwa di situ Sang Lee diajak makan malam oleh keluarga sultan. Sang Lee sebenarnya sudah sangat tertarik untuk memilih KK sebelum terbang ke Bali.

Saya tidak mau menyerah, tentunya! Saya, Den Huan, dan Nia menunggu Sang Lee di Bandara Ngurah Rai malam hari. Kami langsung bawa dia untuk makan malam di Warisan, Seminyak.

Saya sengaja mengundang Rachel Lovelock, adik Prof Christopher Lovelock, yang sudah lama tinggal di Bali. Maksudnya? Dia bisa menceritakan betapa amannya Bali walaupun pernah dibom dua kali!

Ibu Nia juga bercerita bahwa Warisan adalah kepunyaan orang bule yang menikah dengan orang Indonesia. Yang makan malam waktu itu hampir semuanya bule!

Itulah moment of truth pertama untuk menetralkan negative feeling Sang Lee sebagai customer. Malam itu, secara terus terang dia bilang lebih safe menyelenggarakan even tersebut di Malaysia karena dua alasan. Pertama, iklan Truly Asia sangat gencar. Maka, para peserta tahunannya lebih tahu Malaysia ketimbang Indonesia.

Kedua, orang tahu nama Bali, tapi takut karena ada dua kali bom, terutama orang Amerika! Itulah yang dalam marketing disebut sebagai anxiety and desire, yang belum tentu mau diucapkan, demi sopan santun.Anda pernah nonton The Invention of Lying? Orang jadi sering melakukan white lie demi sopan santun dan kelihatan gentleman. Tapi, bagi orang marketing, justru itulah yang harus dicari!

Saya juga dengar dari Den Huan bahwa Sang Lee gila golf. Di KK, Sang Lee sudah diajak melihat beberapa lapangan golf. Karena itu, besoknya, dari tempat menginapnya di Grand Hyatt Nusa Dua, saya ajak dia melihat golf course yang pas berada di sebelahnya.

Di Nusa Dua, dia juga meninjau dua tempat konferensi, yaitu Grand Hyatt dan Sheraton. Saya lihat wajah Sang Lee mulai berubah. Mungkin dia tidak pernah menyangka bahwa Bali bukan hanya tempat main-main, tapi juga bisa digunakan untuk koferensi.

Setelah peninjauan, kami mengajak dia ke Ubud. Perkenalan dengan keluarga Puri Ubud sangat mengesankan! Terus terang, itu bertujuan mengimbangi pertemuannya dengan keluarga sultan di KK. Saya berani memastikan bahwa Ubud punya kesakralanyang lebih berkelas dunia. Yang lebih mengesankan buat Sang Lee, dia kami minta berbicara di depan pejabat Pemda Gianyar, anak buah Dr Tjokorda Oka Sukawati yang juga bupati di sana.

Wah, dia lantas merasa menjadi orang penting, kan? Malamnya, kami ajak dia dinner di Restoran Mozaic. Tempat itu juga dipunyai bule yang beristri wanita Indonesia. Mozaic memang masuk dalam daftar restoran kelas dunia.

Malam kedua, dia kami atur untuk tidur di Royal House atau vila VVIP di Royal Pita Maha, hotel milik keluarga Ubud. Paginya, saya ajak dia beryoga di tepi Sungai Ayung yang memang mengalir di dalam hotel. Dia juga kami ajak makan pagi di tepi Sungai Ayung sambil melihat orang-orang rafting, yang memang melewati Royal Pita Maha.

“Wow, it is amazing. I never had an experience like this!” ucap dia. Saya melihat, “angin” mulai berbalik. Ibu Nia waktu itu langsung menyambar kesempatan tersebut dengan menawarkan diri untuk mensponsori Indonesia Cultural Nite di farewell party konferensi ke-27 di Sen Zhen!

The timing is very right!

Kalau ditawarkan pada hari pertama, percuma karena feeling Sang Lee masih di KK. Yang lebih meyakinkan Sang Lee, dirinya melihat saya makan babi guling Ibu Oka berdampingan dengan Ibu Nia yang makan nasi ayam kadewatan!

Di situ saya punya kesempatan untuk menunjukkan bahwa Indonesia bukan negara berdasar agama, melainkan Pancasila. Itulah keunikan Indonesia jika dibandingkan dengan Malaysia. Kayaknya, penjelasan itulah yang ditunggu-tunggu Sang Lee. Tapi, dia tidak berani bertanya karena sensitivitas.

Sekali lagi, orang marketing harus bisa membaca pikiran pelanggan. Sebab, sering orang menolak membeli bukan dengan alasan sesungguhnya. Melainkan, dia belum melihat jawaban atas pertanyaan yang disimpannya dalam hati.

Dalam perjalanan ke Bandara Ngurah Rai, saya mengajak Sang Lee mampir ke Ritz-Carlton Jimbaran yang juga the best Ritz in the world. Di situ Sang Lee enjoy dengan fasilitas hidroterapi yang terbesar di dunia! Ibu Nia pun ikut terjun ke kolam! Sebuah pengorbanan dari direktur MICE yang mau turun ke lapangan sampai segitunya. Apalagi, kan hal itu sangat langka untuk seorang wanita muslim. Tapi, itulah yang membuat Sang Lee sangat bahagia sekaligus terharu.

Melihat betapa ngototnya kami mempromosikan Bali. Dia sudah tidak mempersoalkan bom lagi ketika mengatakan yes sebelum meninggalkan Bali. Itulah the real country marketing story yang saya lakukan demi merebut 500 profesor datang ke Bali pada 30 Mei sampai 3 Juni 2010!

It is a low budget, high impact marketing.

Sepulang dari Bali, mereka semua adalah profesor yang akan jadi promotor untuk semua mahasiswa yang berjumlah ribuan!

And very new wave too. Tidak pakai iklan, melainkan pendekatan komunitas. Bahkan, pasti lebih ampuh daripada iklan! Susah dan capai karena harus kreatif, tapi menyenangkan.

Saya sekarang punya banyak teman di bidang kebudayaan dan pariwisata karena Pak Sapta selaku Dirjen Pemasaran suka melakukan new wave marketing!

Pada 27 Mei 2009, tepat HUT ke-78 Philip Kotler, saya dan Kotler dilantik sebagai special ambassador for Indonesia Tourism oleh Menbudpar Jero Wacik di Galeri Nasional Jakarta. Kami adalah duta kedua dan ketiga sesudah Bill Gates! (*)

Grow with Character! (95/100) Series by Hermawan Kartajaya - Dari Mayo Clinic ke University of Nebraska: New Life, New Wave!


Dari Mayo Clinic ke University of Nebraska: New Life, New Wave!


AWAL 2008, saya diajak Stephanie, anak perempuan saya, untuk check-up di Mayo Clinic. Memasuki usia ke-60 pada 18 November 2007, dengan tema In Search of Meaning, kesehatan menjadi penting. Tanpa kondisi fisik yang memadai, pencarian makna hidup dengan terus-menerus mencari akan terhenti. Karena itu, saya selalu menambahkan PQ atau kecerdasan memelihara kondisi fisik sebelum IQ, EQ, dan SQ.

Sejak kena diabetes pada usia 37 tahun lalu, sebetulnya saya jadi makin sadar kesehatan. Dulu tidak pernah berolahraga dan kerjanya cuma makan ngawur. Tapi, setelah kena, malah hati-hati dalam memilih makanan. Tapi, karena saya sangat addicted untuk joging, jadi sekarang lutut saya agak terganggu. Sudah tidak joging, hanya jalan cepat sekali-sekali.

Hampir setiap hari saya tes darah puasa. Kalau ketinggian jadi mengurangi intake, kalau kerendahan menambah intake. Dari pengalaman saya, kalau saya stick pada bento White Lotus untuk lunch dan dinner, selalu aman. Semua sudah terukur untuk kondisi saya.

Di Rochester, tempat Mayo Clinic, saya dinyatakan sehat setelah diperiksa tiga hari dari rencana lima hari! Dari situ, saya terbang ke Lincoln, ke kampus University of Nebraska. Saya jadi guest-scholar dan diminta menjadi pembicara di forum Global Leadership Institute yang didirikan Profesor Sang Lee.

Sang Lee juga merupakan chair of management department di sana selama lebih dari 25 tahun! Dia merupakan profesor yang sangat disegani karena sudah menulis banyak jurnal dan buku di bidang Operational Research.

Dalam forum yang berjumlah sekitar 30 profesor dan mahasiswa doktoral itulah, saya diminta ”mempertahankan” konsep New Wave Marketing saya! Jadi, selain sudah di-”tes” di Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok, dan Tokyo, New Wave Marketing juga dibicarakan di kalangan akademik di Amerika. Hebatnya, mereka tidak mau mendebat di metodologi risetnya, tapi langsung pada esensi ”horizontalisasi”-nya.

Dean of Business School yang merupakan bos Prof Sang Lee juga hadir. Di antara semua profesor yang hadir, ada satu yang sangat senior. Prof Fred Luthans! Dia spesialis di human resources, khususnya di organizational behaviour. Buku teksnya dipakai sekolah bisnis di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Waktu forum akan dimulai, Sang Lee mengasih tahu saya bahwa ada Fred di situ. Tapi, dia sengaja gak mau kasih tahu yang mana. Dia khawatir saya akan terpengaruh akan senioritas Fred Luthans.

Dasar arek Suroboyo kan ”bonek”. Saya tetap aja presentasi dengan semangat seperti biasa. Semua lancar karena topik yang dibicarakan ya konsep hasil riset saya sendiri. Ya pasti saya yang paling menguasai. Ketika acara masuk ke tanya jawab, para profesor marketing malah diam. Mungkin mereka pilih safe karena tahu saya sudah menulis empat menjelang lima buku dengan Philip Kotler.

Yang banyak mendebat justru para kandidat doktor atau mahasiswa S-3 dari Tiongkok! Di mana-mana, mereka memang agresif, seringkali lebih agresif dari mahasiswa India. Mereka sekarang sangat pede di mana-mana karena Tiongkok lagi jadi the new superpower dan negara yang paling ”ditakuti” AS saat ini. Tidak susah untuk meladeni mereka. Sebab, bagaimanapun, mereka akan respect pada orang yang lebih senior. Ajaran Confucius kan?

Sebelum acara ditutup Prof Sang Lee, ada seorang profesor senior yang sebelumnya diam saja angkat bicara. Dia menyatakan yakin bahwa konsep New Wave Marketing ini akan jadi konsep masa depan! Begitu dia selesai bicara, semua bertepuk tangan dan pertemuan ditutup!

Setelah itu, saya baru tahu bahwa itulah Profesor Fred Luthans! Profesor management yang paling disegani di University of Nebraska selain Prof Sang Lee. Dia mendekati saya dan membawa saya ke kamar kerjanya. Di situ, dia menceritakan hasil karyanya tentang Psychological Capital atau ”HERO” yang masih sangat akademik. ”I want you to work with me to write a book about my model for Marketing. But in a practical way!”

Jadi, dia sadar bahwa jurnal-jurnal yang hanya dibaca di kalangan akademik tidak bisa membawa konsep HERO-nya yang bagus itu ke dunia praktis! Saya bilang pasti saya akan suka bekerja sama dengan dia, tapi masih ”antre”. Kan, masih harus menerbitkan New Wave Marketing bersama Philip Kotler sebagai buku keenam!

Konsep HERO berarti hope, efficacy, resiliency, dan optimism yang sudah ada alat pengukurnya. Dia sudah membuktikan secara ilmiah bahwa siapa pun yang HERO-nya lebih tinggi akan lebih hebat juga produktivitas, kreativitas, bahkan kesehatannya.

Saya melihat bahwa HERO cocok untuk self motivational tool bagi para marketer di era horizontal yang semakin sulit ini. Jangan tunggu dimotivasi orang lain, tapi ukurlah derajat HERO Anda dan tingkatkan sendiri! Itulah idenya.

Beberapa bulan setelah acara di Nebraska itu, saya diundang Prof Sang Lee untuk menghadiri Pan Pacific Management Conference di Sen Zhen. Di situ, ternyata saya diberi Distinguished Global Leadership Award dari Pan Pacific Business Association, University of Nebraska. Penghargaan tertinggi mereka yang biasanya hanya diberikan pada para profesor! Karena itu, saya semakin yakin bahwa New Wave Marketing adalah konsep yang solid untuk masa depan.

Pada 18 November 2008, saya merayakan HUT ke-62. Temanya jadi New Life, New Wave! Saya sudah menemukan makna hidup yang dicari setahun lalu. Apa itu? Tidak boleh menempatkan diri di atas orang lain, tapi juga tidak perlu di bawah orang lain. Tahun depan, saya akan ke Mayo Clinic lagi! (*)

Grow with Character! (94/100) Series by Hermawan Kartajaya - Made in Indonesia, Tested in Asia, Published in US!


Made in Indonesia, Tested in Asia, Published in US!


SUDAH menjadi kebiasaan saya untuk memulai suatu konsep marketing di Indonesia, mengujinya di Asia, dan menerbitkannya menjadi buku di Amerika bersama Philip Kotler. Setelah di-launch pada 2008, konsep New Wave Marketing mendapat banyak tanggapan.

Masalahnya saya mulai menggunakan istilah 12-C untuk mentransformasi 9-E (elemen) yang vertikal. Keyakinan saya sangat kuat bahwa pada 2020 nanti key words yang berasal dari legacy marketing akan terdengar “menjijikkan”.

Pada saat ini saja, sudah banyak yang menjalankan Community Based Marketing walaupun hanya “berganti nama”. Masa mensponsori suatu even sudah dinamai menjalankan marketing berdasarkan komunitas? Kalau hanya begitu, ya namanya baru below the line (BTL).

Di era Legacy yang vertikal, ada istilah Above The Line (ATL) untuk komunikasi via media massa dan Below The Line (BTL) untuk yang bisa menghasilkan penjualan “lebih langsung” atau sponsorship.

Di New Wave Marketing yang horizontal, membentuk atau memilih komunitas bukan ATL atau BTL. It is totally different! Sebuah komunitas mempunyai Purpose, Identity dan Value (PIV) tersendiri. Anda mesti mengerti, menerima dan meng-adopt supaya bisa di-confirm jadi anggota, kalau tidak Anda tetap dianggap alien!

Kalau Anda membentuk komunitas sendiri, Anda bisa menetapkan PIV-nya. Dan, menyeleksi siapa yang mau di-confirm! Step Community-Confirmation yang merupakan 2C pertama “pengganti” Segmentation-Targeting ini merupakan “pintu masuk” untuk aktivitas selanjutnya.

Bagaimana dengan PDB yang merupakan anchor-nya sembilan elemen? Di New Wave Marketing, PDB jadi “Triple C” yaitu Clarification-Cofication-Character! Nah, kalau Anda sudah ada “di dalam” suatu komunitas, Anda bisa berinteraksi dengan semua anggota komunitas. Lakukan kegiatan branding ada di sini, tapi dengan tidak “menembak secara vertikal”. Di zaman New Wave, tidak ada yang mau jadi “sasaran tembak”.

Gone are the Days that Marketers are Snipers! Marketers are “Story Tellers”,”Script Writers” even “Directors” now!

Saya membayangkan di Disney, ada karakter Mickey Mouse, Mini Mouse, Donald Duck, dan lain-lain. Masing masing authentic diferensiasinya! Dan, dari sikap dan perilakunya, orang sudah clear akan DNA masing-masing.

Jadi, Triple C-nya Mickey Mouse memang berbeda dengan Triple C-nya Donald Duck. Ini saatnya para marketer belajar dari para novelis untuk meng-”hidup”-kan berbagai karakter dalam satu cerita. Wow! Tidak pernah terbayangkan sebelumnya kan?

Sedangkan marketing mix yang biasanya disebut 4P sekarang disebut 4C: Co-creation, Currency, Communal Activation, dan Conversation! Sekali Anda ada “di dalam” komunitas, Anda bisa mengembangkan produk bareng-bareng dengan komunitas. Dengan demikian, kemungkinan gagal waktu di-launch lebih kecil.

Harga akan berbeda-beda menurut dimensi time and space, bahkan individual. Bagaikan Currency yang nilainya floating bergantung pada berbagai aspek. Supply, Ddemand, intervensi, politik ,dan sebagainya. Karena itu, currency bisa menghasilkan harga yang no-price alias free sampai price-less atau tak ternilai! Bukan sekadar menaikkan harga atau memberikan diskon seperti di era legacy marketing.

Place harus dipakai untuk A place, virtual or real one, should activate the community. Makin sering tempat Anda mengadakan aktivitas, semakin bagus. Sedang promotion jelas akan ditolak pada 2020 dan harus diganti dengan A fair conversation! Selling harus juga berubah jadi A fair commercialisation yang win-win untuk kedua belah pihak.

Selanjutnya service jadi care sering disalahartikan. Banyak orang yang mengubah kata customer cervice menjadi customer care, padahal kelakuannya sama saja. Peduli berarti menempatkan customer bukan “di atas” marketer, tapi menempatkan customer sebagai seorang kawan, bahkan soulmate kalau bisa. Bukan memberikan yang “terhebat”, tapi yang “terbaik” untuk pelanggan. Bukan memberikan “variasi”, tapi membantu pelanggan untuk “memilih” yang terbaik.

Terakhir, process berubah menjadi collaboration yang bisa dilakukan bukan dengan pelanggan saja, tapi “wajib” dilakukan dengan pihak lain, termasuk dengan pesaing bila perlu.

Nah, jumlahnya 12 C kan yang berbeda sama sekali dari 9 elemen, bukan sekadar “istilah baru”. Akhir tahun lalu pada 10 Desember 2009, juga di MarkPlus Conference di Pacific Place Jakarta, saya menyempurnakan lagi 12 C itu dengan CONNECT!

Connect ini juga merupakan nama buku yang saya tulis bersama dengan Waizly Darwin dan para pembaca Kompas. Di situ saya mengatakan bahwa Connect merupakan prasyarat awal sebelum menjalankan 12 C! Letaknya ada di tengah model Landscape 4C (Change, Competitor, Customer, Company ).

Artinya? Sebelum berpikir komunitas, Anda harus punya sebuah Always On Paradigm! Ada tiga tingkat Connect! Pertama saya sebut mobile-connect. Ini syarat awal, artinya ke mana pun Anda pergi harus siap connect dengan tiga C lainnya yaitu: Customer, Change Agent, bahkan Competitor! Kalau enggak? Anda pasti akan outdated! Anda juga harus well-connected dan siap 24/7!

Kedua, yang saya sebut sebagai experiential connect atau deep connection. Anda wajib pernah punya experience bersama, baik online, kalau bisa offline dengan beberapa orang yang Anda anggap penting untuk “masuk lebih dalam”.

Dan, yang terakhir saya sebut sebagai social connect atau strong connectivity! Untuk beberapa orang pilihan, Anda perlu “masuk” ke komunitas mereka.

Nah, di sinilah “sambungan” untuk masuk 12 C lewat C pertama, yaitu Community! Pada New Wave Marketing, sudah tidak ada ATL dan BTL lagi. Yang ada ON-LINE dan OFF-LINE ! Online untuk meng-create excitement, sedangkan offline untuk intimacy.

Jadi, New Wave Marketing sama sekali bukan hanya ONLINE, tapi juga OFFLINE. Bukan juga digital marketing, tapi sebuah pemikiran baru untuk memosisikan pelanggan sejajar dengan marketer. Tidak “di bawah”, tapi juga tidak perlu “di atas”! Semua ini dijelaskan secara detail di buku New Wave Marketing dan Connect terbitan Gramedia Pustaka Utama.

Inilah yang saya sebut sebagai “diracik” di Indonesia. Tapi juga sudah “dites” untuk dapat feedback di berbagai kota Asia di berbagai kesempatan. Hasilnya sangat positif. Langkah terakhir? Diterbitkan di Amerika bersama Philip Kotler lagi sebagai buku saya keenam! (*

Grow with Character! (93/100) Series by Hermawan Kartajaya - Hanya Ada New Wave Marketing Mulai 1 Januari 2020


Hanya Ada New Wave Marketing Mulai 1 Januari 2020


BUKU The World is Flat tulisan Thomas Friedman layaknya The New New Testament. Semacam perjanjian paling baru bagi setiap orang di bumi bahwa situasi sudah berubah total. Friedman bukan profesor dari sekolah bisnis top dunia, melainkan hanya seorang wartawan yang berkeliling dunia. Di mana-mana dia mengamati dan menemukan bahwa globalisasi sudah mencapai era 3.0.

Era 1.0 adalah masa negara-negara adikuasa dari Eropa menguasai seluruh dunia. Indonesia termasuk jadi korbannya, jadi koloni Belanda selama 350 tahun! Era 2.0 adalah masa perusahaan adikuasa melanda dunia. Mereka mengkavling dunia menurut region-region sesuai dengan yang mereka mau. Pemerintah dipaksa memenuhi keringanan pajak yang diminta dengan dalih investasi. Para multinational company (MNC) malah diundang masuk ke suatu negara dengan ditawari macam-macam insentif.

Globalisasi 3.0 sudah dimulai. Setiap individu yang terhubung ke internet akan berkuasa. Perusahaan MNC dan negara takut terhadap power mereka.

Waktu Friedman menulis buku itu, Facebook, Google, Youtube, dan Twitter belum sekuat sekarang. Tapi, yang dia tulis tersebut benar dan semakin terbukti. Melampaui prediksi Alvin Toffler dalam bukunya, The Third Wave.

Itu sesuai dengan buku Marketing 3.0 yang berdasar transparansi. Dalam dunia datar yang dibayangkan oleh Friedman, negara dan perusahaan -yang biasanya menempatkan diri di atas individu- akan tidak berdaya. Kenapa? Sebab, individu yang terkoneksi satu sama lain oleh internet akan jadi kekuatan social networking yang dahsyat! Harus ada spirit transparansi.

Di dunia datar tersebut, orang sudah tidak membicarakan hal-hal yang vertikal, seperti bangsa, negara, suku, agama, usia, pekerjaan, bahkan status! Mereka terkoneksi sebagai citizen of the world. Mereka merupakan manusia dengan spirit yang sama. Yaitu, ingin bekerja sama, bermain bersama, dan berinteraksi bersama. Mereka saling tukar ide untuk suatu kehidupan dunia yang lebih baik.

Saya jadi ingat pada lirik Imagine dari John Lennon yang sejak dulu merindukan hal semacam itu. Luar biasa, kan? Nah, saya pun berpikir mengembangkan Marketing 3.0 pada tataran model pelaksanaan! Saya merasa sudah saatnya mentransformasikan model Marketing Plus 2000 yang jadi sustainable market-ing enterprise atau SME, yang merupakan versi 3.0 itu. Tapi, kali ini bukan jadi versi 4.0, melainkan berubah total.

Dari vertikal ke horizontal! Ketika intensif melakukan riset tentang cara menghorizontalkan sembilan elemen, saya ngobrol dengan Pak I Nyoman G. Wiryanata, director of consumer PT Telkom Indonesia. Dia bercerita, lanskap Telkom telah berubah dari legacy ke new wave.

Itu adalah istilah teknologi yang lazim digunakan di industri telekomunikasi. Mendadak saja, terjadi “Aha” di otak saya saat diskusi berlangsung. Lalu, saya bilang kepada Pak Nyoman bahwa saya sudah ketemu nama yang pas bagi suatu horizontal marketing!

New Wave Marketing! Wow! Saya suka nama itu! Pulang dari diskusi, saya googling kata new wave yang mengakibatkan saya semakin yakin bahwa itu adalah kata yang benar! Maka, saat itulah saya mulai menggarap dengan serius penghorizontalan sembilan elemen. Saya yakin bahwa sembilan elemen tersebut habis pada 2020! Kenapa? Sebab, sembilan elemen itu sudah semakin mahal dan tidak efektif lagi!

Bayangkan STP atau segmentation-targeting-positioning. Individu yang terkoneksi satu sama lain tersebut tidak mau di-STP-kan lagi! Mereka sudah berkomunitas, di mana marketer harus mampu diterima di situ untuk mengklarifikasikan siapa dirinya!

Sebab, STP jadi communitization, confirmation, dan clarification! Carilah komunitas-komunitas yang cocok atau bentuklah komunitas Anda sendiri. Kemudian, please confirmed that you are in the community. Komunitas tidak bisa ditarget. Sebab, para anggotanya solid, tidak seperti segmen yang loose.

Definisi positioning dari Al Ries dan Jack Trout akan gugur sendiri. Sebab, otak individu di komunitas tidak bisa dikerjai dengan iklan lagi. Yang bisa dilakukan, Anda harus masuk ke dalam komunitas untuk mengklarifikasi positioning yang Anda inginkan.

Bagaimana DMS di taktik? Diferensiasi jadi lebih susah pada era horizontal. Harus authentic supaya susah ditiru. Karena itu, saya menyebutnya sebagai codification of a DNA!

Produk sebaiknya diciptakan bersama pelanggan. Sebab, itu jadi co-creation. Price jadi currency karena floating kayak mata uang sesuai dengan intrinsic dan extrinsic value-nya. Place jadi communal activation. Sebab, hanya di tempat pengaktifan komunitas itulah terjadi channel informasi maupun penjualan.Promotion jadi conversation karena pelanggan sudah tidak mau diberi promosi lagi. Mereka lebih percaya dengan percakapan dalam komunitas sendiri. Selling jadi commercialization karena individu hanya mau melakukan a fair transaction. Mereka tidak suka jika dijadikan sasaran para salesman!

Pada BSP atau marketing value, juga terjadi transformasi. Sebuah brand akan jadi karakter! Sebuah brand yang dipaksakan masuk ke benak konsumen bakal susah diingat. Tapi, sebuah karakter yang khas akan diingat orang!

Service jadi care karena pelayanan sudah jadi generik. Orang sekarang menuntut kepedulian! Sedangkan process jadi collaboration. Kenapa? Sebab, sesuatu yang dilakukan sendiri akan jadi mahal. Mulai hulu sampai hilir, kolaborasi harus diupayakan dengan berbagai pihak.

Buku berbahasa Indonesia untuk new wave marketing yang sering saya sebut sebagai low budget high impact marketing tersebut sudah jadi best seller di Indonesia. Buku itu diluncurkan di MarkPlus Conference yang dihadiri 4.000 orang pada Desember 2008 di Pacific Place dan sekarang sudah dicetak ulang beberapa kali. Ketika saya menjelaskan kepada Philip Kotler, dia suka sekali. Bahkan, John Wiley minta ide tersebut digabung dengan konsep marketing 3.0!

Saya menolaknya dengan halus. Tapi, itulah rencana buku keenam saya bersama Kotler! Banyak yang belum percaya akan efektivitas new wave marketing saat ini walaupun trennya sudah jelas. Saya hanya bilang, “Saat Anda bangun pada 1 Januari 2020, sudah tidak ada lagi legacy marketing. Yang ada hanya new wave marketing!” (*)

Grow with Character! (92/100) Series by Hermawan Kartajaya - Marketing 3.0: Dari Buku Wiley and Sons di Amerika Sampai ke Museum Puri Lukisan di Ubud



Marketing 3.0: Dari Buku Wiley and Sons di Amerika Sampai ke Museum Puri Lukisan di Ubud


PROSES berpikir untuk mengembangkan konsep marketing yang sejalan dengan zaman bagi saya tidak pernah berhenti. Hal itu tidak bisa terlepas dari perkembangan MarkPlus.

Marketing 3.0 buat saya punya arti tersendiri. Terutama, ketika saya memasuki usia 60 tahun pada 18 November 2007. Mulai saat itu, saya sadar bahwa saya sudah memasuki suatu life stage berikutnya. Bisa-bisa the last life stage. Karena itu, saya mulai menetapkan tema untuk diri sendiri tiap tahun. Khusus tahun ke-60 tersebut, saya menetapkan tema In Search of Meaning. Artinya, Mencari Makna Hidup. Kira-kira seperti itu.

Saya melihat hidup saya pada 30 tahun pertama sebagai HK 1.0 yang berjuang secara rasional. Melakukan segala macam hal untuk bisa survive. Sebab, waktu kecil di kampung, saya sangat miskin. Karena itu, saya hanya memikirkan cara agar dapat hidup layak dan berani bekerja keras supaya bisa menerobos ke atas.

Orang tua saya selalu bilang bahwa saya harus pintar karena keluarga kami miskin. “Jangan ambil risiko karena kita bukan pengusaha.” Papa saya selalu mengarahkan saya untuk jadi seorang profesional yang dibutuhkan oleh orang banyak supaya hidup saya safe. Nilai-nilai rasional seperti yang saya warisi dari orang tua itulah yang mewarnai era 1.0 saya.

Pada 30 tahun kedua, saya melihat hidup saya sebagai HK 2.0, yang mulai membentuk kepribadian saya. Terus terang, saya banyak terpengaruh buku Daniel Coleman yang mengupas pentingnya emotional intelligence atau kecerdasan emosional.

“Sukses tidaknya seseorang lebih ditentukan oleh EQ ketimbang IQ.” Hal itu dibuktikan oleh Coleman lewat berbagai penelitian. MarkPlus lahir pada 1 Mei 1990, ketika saya hampir berusia 43 tahun. Artinya, saya kira-kira berada di tengah era HK 2.0. Di era itu saya pengin menjadi diri sendiri, di samping selalu sering merasa bersalah kepada kedua orang tua saya.

Mengapa saya kurang hormat dan kurang menunjukkan kasih sayang ketika mereka masih hidup? Kenapa saya tidak pernah lulus dari ITS? Padahal, papa saya akan sangat bangga kalau saya bisa jadi insinyur. Kenapa saya tidak pernah mengajak mama saya jalan-jalan ke luar negeri selama beliau masih ada? Padahal, dia bekerja keras untuk menutup kekurangan pendapatan dari gaji papa saya sebagai pegawai negeri yang “tidak pintar” mencari penghasilan tambahan.

Di era 2.0, saya semakin sadar bahwa mengelola persahabatan, perusahaan, bahkan keluarga tidak bisa hanya menggunakan IQ. Justru harus memanfaatkan EQ! Ketika saya sampai pada titik usia 60 tahun dan flashback, saya merasa bahwa era 2.0 itulah yang penuh dengan pembelajaran.

Terus terang, pada era HK 1.0, EQ saya tidak terlatih sama sekali. Karena itu, cost cukup tinggi ketika saya terus mengembangkan kehidupan pribadi, keluarga, dan MarkPlus. Akhirnya, saya menyadari, tidak ada gunanya suatu pencapaian kalau saya harus kehilangan jati diri.

Mendirikan dan membesarkan MarkPlus akan gagal kalau hanya menggunakan IQ karena kita perlu dukungan banyak orang, sebagaimana yang saya tulis berkali-kali. Strategi berdasar pemikiran rasional saja tidak akan berjalan tanpa kepiawaian mengelola emosi diri dan orang lain.

Begitu juga ketika membangun pribadi dan keluarga. Saya tidak tahu, tiga puluh tahun ketiga saya yang dimulai pada 2007 sebagai era HK 3.0 akan berlangsung berapa lama.

Salah seorang yang sangat memengaruhi saya adalah Danah Zohar, penulis buku Spiritual Capital. Saya tidak tahu apa agamanya. Tapi, ketika saya seharian menjadi moderatornya, saya kagum kepada perempuan tersebut. Zohar juga pernah mampir ke MarkPlus Jakarta untuk rekaman radio bersama saya. Kata-kata Dahlan Iskan sesudah operasi cangkok liver di Tiongkok pun sangat mengesankan saya. “Hidup ini tidak ada artinya kalau kita tidak berguna untuk orang lain.”

Setelah itu, saya baru sadar bahwa IQ dan EQ saja ternyata memang tidak cukup. Spiritual capital-lah yang menentukan kematangan manusia. Tidak peduli agamanya apa, kalau tidak punya kematangan, orang tidak akan berarti. Bisa-bisa sosok itu menjadi fanatik buta yang berbahaya.

Karena itu pula, ketika buku Marketing in Venus yang berdasar EQ sukses di Indonesia dan diterjemahkan ke bahasa Vietnam, bahkan di-localized di Tiongkok, saya malah jadi khawatir. Jangan-jangan, saya ngajarin orang untuk menjalankan playboy marketing! Bukankah IQ, apalagi EQ, seorang playboy biasanya sangat tinggi? Tapi, bagimana moralitas dan etikanya?

Jawabannya ya marketing 3.0, yang pada dasarnya ingin menunjukkan bahwa sustainability sebuah perusahaan tidak hanya ditentukan oleh inovasi produk (1.0), bahkan kepuasan pelanggan (2.0), tapi juga spirit untuk berbuat kemanusiaan (3.0) dari perusahaan itu sendiri. Tanpa yang satu itu, sehebat-hebatnya inovasi produk dan kepuasan pelanggantidak akan bisa membuat sebuah perusahaan berkelanjutan.

Untuk pribadi saya, era HK 3.0 juga harus begitu. Bukan hanya inovasi konsep pemasaran dalam rangka memuaskan orang lain, semuanya juga harus dilakukan dengan spirit kemanusiaan yang tinggi. In Search of Meaning itu sejalan dengan The Meaning of Marketing dan Marketing of The Meaning yang saya tulis di Marketing 3.0.

Nah, itulah yang akhirnya membawa saya melakukan pendalaman di Ubud, Bali, tentang kenapa Ubud bisa begitu mahal? Selama beberapa tahun ini, bergaul dan mendengarkan ceramah tiga Tjokorda dari Puri Ubud membuat saya sadar bahwa Ubud adalah sebuah kasus marketing 3.0 yang sangat menarik! Bayangkan, bapak tiga Tjokorda sekarang, yang merupakan the last king of Ubud zaman dulu, dengan penuh ketulusan mengundang banyak orang asing untuk tinggal di Ubud. Akhirnya, orang-orang asing itulah yang jadi marketer dari Ubud. Antonio Blanco bahkan berkeluarga di Ubud dan museumnya dikunjungi semua presiden RI dan berbagai tamu asing kelas atas.

Ubud yang humble itu akhirnya malah jadi The Best City in Asia pilihan pembaca Conde Naste Traveller pada 2009. Karena itu pula, dibantu Bembi Dwi Indrio M., saya menerbitkan buku Ubud: The Spirit of Bali. Buku tersebut merupakan live case book dari Marketing 3.0 dan akan saya bawa ke mana-mana untuk dipromosikan. Sehubungan dengan itu juga, sekalian dipersiapkan Museum Marketing 3.0, yang tanah dan gedungnya disponsori Keluarga Puri Ubud di kompleks Museum Puri Lukisan.

Peresmiannya dilakukan pada 27 Mei 2011 oleh Philip Kotler, bertepatan dengan hari ulang tahun ke-80-nya! Saya pengin menggabungkan konsep kelas dunia dengan kearifan lokal Indonesia! (*)