Catatan dan Goresan Masrizal

Catatan dan Goresan Masrizal

Rabu, 23 Februari 2011

SWA: Transformasi Bisnis Si Raja Mi

Transformasi Bisnis Si Raja Mi

Posted By Eva Martha Rahayu On February 17, 2011 @ 6:01 am In Manajemen, Swa Majalah


Untuk mengakselerasi pertumbuhan, produsen mi ini pun bertransformasi. Bagaimana prosesnya?



Entah apa yang akan dikatakan Tan Pia Sioe pada cucunya, Joko Mogoginta. Perusahaan keluarga yang dibesut Tan pada 1959, tak dinyana, kini berkembang dari sekadar berjualan mi kering dan bihun cap Cangak Ular menjadi pelaku bisnis pangan dan fast moving consumer goods (FMCG) yang diperhitungkan. Di bawah kepemimpinan Joko, rintisan Tan itu, PT Tiga Pilar Sejahtera (TPS) , tumbuh sangat pesat, agresif dan ekspansif.


Sejak bergabung dengan TPS tahun 1992, Joko memang “gila”. Dia banyak melakukan aksi mencengangkan. Strategi akuisisi ditebarnya. Mula-mula, PT Asia Inti Selera Tbk. (AIS) dibelinya. AIS bukan pemain sembarangan. Ia produsen mi Ayam 2 Telor yang menjadi pemimpin pasar. Tak ayal, akuisisi ini mengukuhkan posisi TPS sebagai raja mi kering dengan menguasai pangsa pasar nasional (38%). Aksi pencaplokan itu otomatis juga membuatnya masuk bursa secara backdoor listing dan namanya resmi menjadi PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk. Potensi bisnis FMCG yang wah, yang nilai pasarnya ditaksir Joko sekitar Rp 500 triliun setiap tahun, membuatnya mengayun langkah akuisisi ini.


Tidak puas hanya menjadi raja mi, Joko tergiur menikmati legitnya bisnis permen. Tahun 2005, giliran Polymeditra Indonesia, produsen permen merek Gulas dan biskuit, yang direngkuhnya. Masih kurang juga, Joko menggelar operasi yang bikin geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, dia mengakuisisi tiga perusahaan senilai lebih dari Rp 500 miliar, nilai transaksi yang berada di atas aset perusahaannya. Kemudian, dua dari perusahaan itu berada di luar lini bisnis yang menjadi kompetensinya: perkebunan kelapa sawit dan energi.


Bagi Joko, seluruh langkah yang ditempuhnya sudah tepat. Akuisisi adalah pilihan rasional untuk menggejot pertumbuhan anorganik. Kemudian, anggapan bahwa dia melenceng dari kompetensi inti juga tidak tepat. “Transformasi (itu) seperti (perubahan) dari ulat menjadi kupu-kupu. Memang benar kami dari food, kok larinya ke kebun sawit atau beras. Namun jika dicermati, ekspansi kami masih berbasis agrikultur. Jadi, bidang garapannya tidak jauh-jauh amat bedanya,” ujar Presdir & CEO TPS Food ini berkilah.


Visi lulusan Jurusan Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini adalah mengembangkan perusahaan sebesar-besarnya. Begitu ada peluang tumbuh, akan sigap ditangkapnya asalkan dalam koridor agrikultur yang masih terkait lini bisnis perusahaan.


Sawit, misalnya. Awalnya, TPS memang mengakuisisi pabrik pengolahan minyak sawit, tetapi berikutnya dikembangkan ke perkebunan sawit. Kebun yang dimiliki saat ini ada di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat seluas 12 ribu hektare. Adapun tanah perkebunan yang belum ditanami seluas 80 ribu ha, ada di Riau dan Sumatera Selatan. Tahun ini TPS akan mengakuisisi kebun sawit lagi di Riau seluas 12 ribu ha. Rencananya, dua tahun ke depan bakal menanam 15 ribu ha. Tahun 2013, total kebun yang ditanami mencapai 40 ribu ha. “Ini artinya, TPS sudah punya otot di kancah bisnis kelapa sawit nasional,” kata Joko.


Mengapa masuk ke sawit? Menurutnya, crude palm oil (CPO) adalah bisnis yang sangat potensial. Harga sawit terus melambung dari tahun ke tahun. Tahun lalu di kisaran US$ 800 per metrik ton setelah sebelumnya US$ 678 per metrik ton (2009). Selain itu, TPS juga memakai minyak sawit untuk bahan baku produk mi dan biskuit. Tentu akan sangat menguntungkan jika memiliki jaminan pasokan kelapa sawit.


Namun, diakuinya, gurihnya bisnis CPO tidak bisa langsung dipetik dalam waktu dekat. Dibutuhkan waktu 4-20 tahun untuk memanen. Rencananya, bisnis sawit yang telah menelan dana investasi sekitar Rp 600 miliar itu kelak selain untuk kebutuhan sendiri, juga akan dilempar ke pasar dalam negeri dan diekspor ke Cina plus India.


Bagaimana dengan energi? Apakah bidang ini tidak terlalu menyimpang?


Joko menampik tudingan itu. Dia memiliki alasan khusus saat mengibarkan bendera TPS Energy. Menurutnya, lima pabrik TPS yang berpusat di satu kawasan di Solo luasnya 50 ha, tetapi kapasitas listriknya byar-pet. Selain itu, perusahaan pun butuh tenaga uap dan listrik. Diharapkan, proyek yang telah diberi suntikan dana sekitar US$ 12 juta itu dapat kelar pada dua tahun mendatang. “Nantinya, kami akan menjajaki TPS Energy juga dikomersialkan,” ayah dua anak ini menjelaskan.


Bisnis yang lain adalah beras, yang diklaim Joko tidak semata-mata bisnis. “Kalau soal rice terkait dengan ideologi dan potensi pasarnya juga besar,” ujar pria kelahiran Surakarta, 16 September 1967, ini tentang alasannya mengepakkan sayap bisnis ke beras sejak 2010. Ideologi?


“Ya, saya ingin harga beras yang selama ini naik-turun dapat stabil dan petani terbantu,” ucap Joko yang menggemari kesenian wayang serta koleksi aneka jenis wine. Potensi bisnisnya, menurutnya, sangat besar. Tilik saja: bangsa Indonesia adalah pemakan beras terbesar di dunia, rata-rata tiap orang mengonsumsi 130 kg per tahun, sementara negara lain cuma 60 kg/orang saban tahun. Dengan kata lain, Joko mengalkulasi, tiap tahun kebutuhan beras negara kita sekitar 40 juta ton dengan taksiran nilai pasar Rp 240 triliun. Memang margin bisnis beras terbilang tipis, 3%-4%. Namun jika bermain dalam volume besar, akan sangat menguntungkan. Lagi pula, hingga kini belum ada pemain bisnis beras terbesar di Indonesia.


Itulah sebabnya, sebagai wujud optimismenya, dia tak ragu mengguyur dana investasi Rp 200-an miliar. Langkah pertama yang diayunkannya adalah mengakuisisi PT Jatisari Sri Rejeki, produsen beras skala industri. Dengan akuisisi ini, pihaknya menargetkan produksi beras TPS mencapai 200-300 ribu ton/tahun. Angka ini terbilang kecil, yaitu 0,1% dari total kebutuhan beras nasional 38-40 juta ton/tahun. Namun, sudah lumayan.


Lalu, agar bisa meraih keuntungan lebih besar, Joko sudah memutar otaknya. Beras akan dikembangkan ke sejumlah produk turunan. “Contoh, di negara-negara maju, beras dikembangkan menjadi vitamin dan zat-zat yang baik untuk tubuh,” Wilson Lie, Direktur TPS, menimpali.


Di luar akuisisi tersebut, Joko juga mengembangkan bisnis distribusi yang menurutnya merupakan bisnis penunjang. Mengapa? “Karena, bisnis food dan beras perlu strong distribution network,” jawabnya. Sekarang, TPS memiliki jaringan distribusi dari Lampung, Banten, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, hingga Bali yang mencakup 29 teritorial. Jaringan distribusi ini harus dibangun dengan kuat, lantaran percuma saja mempunyai produk bagus jika tidak bisa disalurkan ke tangan konsumen dengan luas. Sebanyak 29 titik distribusi TPS itu dibagi dalam tiga kategori: distribusi independen/wilayah, distribusi TPS, dan campuran.


Dengan langkah-langkah akuisisi itu, TPS pun terlihat bertransformasi dari sebuah perusahaan mi dan bihun menjadi grup yang terhubung dari hulu ke hilir: dari bahan pangan sampai distribusinya. Kini berdiri sejumlah pilar bisnis. Pertama, basic food (mi dan bihun) serta FMCG (permen, biskuit, snack) di bawah naungan TPS Food. Kedua, kelapa sawit/CPO dipayungi PT Bumi Raya Investindo. Ketiga, beras dengan bendera PT Dunia Pangan. Keempat, bisnis energi (TPS Energy). Dan kelima, distribusi. Semua bisnis ini berada di bawah perusahaan induk, TPS Food.


Steve Sudjatmiko memuji langkah pembenahan TPS terkait dengan transformasinya. “Joko telah melakukan hal yang terpenting dalam membangun bisnis berdasarkan komoditas, yaitu perbaikan infrastruktur,” kata Mitra Pengelola RedPiramid Consulting itu. Pernyataan ini merujuk pada sektor yang dikuasai Joko, seperti sawit, beras dan energi, sebagai infrastruktur untuk bisnis mi kering dan bihun.


Pendapat Wilson menguatkan opini Steve. Wilson menilai, tahapan transformasi yang dilakukan TPS sudah tepat. Dilihat dari siklus perusahaan: establish, growth, mature, down, maka perusahaan ini berada di level antara growth dan mature. Sebab, produk-produknya telah eksis dan menjadi pemimpin pasar untuk mi kering. Kelemahan TPS, lanjutnya, justru terletak pada faktor agak telat berekspansi.


Wilson boleh jadi benar. Namun, harus disadari bahwa melakukan transformasi tidak boleh gegabah. Dibutuhkan kalkulasi dan pengelolaan yang cermat untuk seluruh kapital yang ada, mulai dari financial capital (dana) sampai human capital (kesiapan sumber daya manusia), plus sistem. Lantas, dari mana sumber pembiayaan ekspansi dan transformasi TPS? “Kombinasi pembiayaan bank dan kas internal dengan komposisi fifty-fifty,” ungkap Joko yang mempekerjakan 5.000 karyawan.


Lalu, apa kompetensi inti TPS dalam melakukan transformasi? Jawabannya, menurut Joko, mengacu pada filosofi transformasi yang dianut TPS: good people dan good system, sehingga perusahaan diharapkan mampu berkembang (double train). Good people di sini maksudnya adalah good discipline, seperti disiplin dalam touch, action dan people. Dengan demikian, bila karyawan bekerja, tidak perlu diawasi ketat lantaran sudah punya sikap disiplin yang melekat. Begitu juga dengan sistem yang bagus, yang membantu people dapat bekerja sesuai dengan harapan manajemen.


Selain good people dan good system, Joko perlu menyambungkan antara operation, people dan execution. Untuk itu, dibutuhkan SDM yang bagus, perencanaan yang cemerlang, operasi yang hebat, dan strategi yang jitu. Jika kriteria ini dipenuhi, tidak mustahil TPS akan lekas tumbuh lebih pesat lagi.


Sayangnya, seperti diakui Joko, transformasi yang digelarnya ini dihadapkan pada kendala yang tak mudah: sulitnya mencari great people. Wajarlah, kemudian dia pun akhirnya gencar memburu great people karena perusahaan ingin maju menjadi great company. Apa yang dibutuhkan Joko kini adalah tipikal perusahaan yang tengah melaju kencang: para business leader.


Sekalipun masih menghadapi persoalan, transformasi ini membawa sisi positif di lingkup internal TPS: memacu inovasi. Kini, pengembangan produk dan pengembangan bisnis kian diintensifkan karena perusahaan berupaya menguasai pasar lewat produk-produk baru. Agar transformasi ini berhasil, juga dibuat bagian riset dan pengembangan yang sebelumnya tidak ada. Mulai 2011, TPS menargetkan bisa meluncurkan satu kategori produk baru yang meliputi 3-4 item produk.


Inovasi yang diintensifkan adalah bagian dari lima strategi Joko dalam menghela perusahaannya meraih pertumbuhan. Empat lainnya adalah effective distribution, creative marketing, lean manufacturing, dan learning human capital.


Menurut Steve, transformasi TPS sungguh memiliki potensi yang bagus. “Tumbuh dari sekadar perusahaan mi menjadi perusahaan pangan dapat membuat operasinya lebih efisien, biayanya lebih terbagi, menggunakan skill yang sudah ada untuk maju dan nilainya lebih besar karena TPS memiliki portofolio, bukan cuma beberapa produk,” ujarnya. Lalu, bagaimana hasil transformasi itu sendiri?


Perlahan-lahan bisnis TPS terus tumbuh. Memang, dari sisi pendapatan, sumber bisnis lama, yakni mi plus bihun dan FMCG, masih dominan: menyumbang 50%.Tiap tahun bisnis mi dan bihun tumbuh 5%-10%. “Target pertumbuhan mi dan bihun plus FMCG tahun 2011 sebesar 57%,” ujar Joko tandas. Namun, dengan adanya sejumlah lini baru, pada 2011 diharapkan bisnis beras mulai mengimbangi pendapatan divisi makanan. Target total pendapatan 2011 sebesar Rp 1,5-2 triliun. Adapun pendapatan 2010 diperkirakan Rp 986,49 miliar dan laba bersih Rp 49,71 miliar (belum diaudit). Jumlah ini naik tajam dibandingkan pendapatan 2009 sebesar Rp 533,19 miliar.


Joko punya keinginan besar terhadap bisnis rintisan kakeknya ini. Dia ingin TPS kelak menjadi pemain food & agriculture industry. Kedua bidang ini masih dapat diandalkan sebagai cash cow perusahaan hingga 10 tahun ke depan. Itulah sebabnya, jika ada peluang bisnis terkait, dia akan segera menangkapnya.


Namun, Joko harus tetap waspada. Steve mengingatkan, bila Joko sembarangan ekspansi, risikonya besar. Maklum, dalam hematnya, selain distribusi, TPS belum terbilang hebat dalam pemasaran. “Jadi, ciptakan kemampuan marketing dalam membangun brand,” ujarnya menyarankan. Masukan Steve itu rasanya laik didengar. Terlebih, Joko sendiri tengah berupaya keras meningkatkan pangsa pasar, khususnya untuk mi kering dan bihun. Maklum, sebelum sawit dan energi jadi mesin pertumbuhan, produk-produk makanan itulah yang diandalkan. ***


Infografis:


Tahap Transformasi TPS

•1959: masih fokus pada mi kering dan bihun

•1992: mulai beralih dari gaya perusahaan keluarga menjadi manajemen profesional

•2000: mulai ekspansi, mengakuisisi produsen permen dan biskuit, babak baru masuk ke FMCG

•2006: memasuki bisnis kelapa sawit

•2010: ekspansi bisnis beras

•Ke depan: pemain food & agriculture industry



5 Strategi TPS Mencapai Pertumbuhan

•Effective distribution

•Creative marketing

•Innovative business development

•Lean manufacturing

•Learning human capital

Tidak ada komentar: