Brand Must Reflect "Reason for Being"
MarkPlus adalah Marketing Plus! Hal itu terlihat di logo pertama yang saya buat. Ada sembilan kotak bujur sangkar kecil yang saya susun tiga kali tiga.
Pada tiga kotak pada baris paling atas, saya pasang huruf M-A-R. Pada tiga kotak pada baris kedua, saya taruh K-E-T. Susunan huruf pada baris terakhir adalah I-N-G. Jadi, kalau dibaca: MAR-KET-ING.
Untuk menggambarkan Plus, saya mainkan warna hitam dan putih. Di baris atas, huruf M warna hitam dengan latar belakang putih. A warna putih di atas kotak hitam dan R warna hitam di atas putih. K-E-T ketiganya putih di atas kotak-kotak hitam. Akhirnya, balik lagi seperti baris pertama, I hitam di atas putih, N putih di atas hitam, dan G hitam di atas putih.
Dengan demikian, latar belakang MAR-KET-ING akan terbaca sebagai black cross.
Semuanya jelas dan gamblang, bahwa saya memang ingin mengatakan bahwa business is marketing plus others. Artinya, semua fungsi lain seperti finance, operation, dan human resources mengikuti keputusan pemasaran.
Jadi, sejak awal pendirian MarkPlus Professional Service di Surabaya tanggal 1 Mei 1990, saya sudah ingin melakukan "redefinition" of marketing. Saya sangat percaya bahwa marketing merupakan "fungsi" yang punya level lebih tinggi daripada lainnya. Waktu itu, saya sangat kagum pada Unilever yang sangat "marketing".
Di Unilever, waktu itu marketing director punya posisi diatas "setengah tingkat" daripada direktur lainnya. Hal itu "diakui dan diterima" secara alamiah.
Saya jadi semakin kagum pada Unilever waktu itu, ketika sempat mengunjungi pabriknya. Biasa saja, tidak ada yang istimewa.Teman saya, Pak Ibnu yang waktu itu human resources manager, mengatakan bahwa rahasia terbesar Unilever adalah brand-nya. "Kalau saja besok pabrik Unilever ini terbakar, Pepsodent tetap adalah brand besar dan bisa diproduksi di pabrik mana saja." Belakangan saya semakin mengerti pentingnya brand ketika tahu bahwa Nike bahkan tidak punya pabrik satu pun! Tapi, mereka punya brand yang kuat!
Semua fungsi lain diarahkan untuk "men-support" keputusan marketing yang sangat penting itu. R & D diarahkan untuk membuat produk-produk yang sesuai dengan "arahan" brand yang ditentukan sebelumnya. Di kasus Pepsodent, waktu itu "gigi putih" adalah strategi yang dipakai untuk Pepsodent. Kalau yang terjadi sebaliknya, malah bahaya!
Membuat produk-produk lebih dulu yang dianggap "bagus dan kompetitif", tapi tidak sesuai dengan "gigi putih". Akhirnya, brand akan jadi lemah dan produk pun tidak laku!
Begitu juga produksi. Kualitas pasta gigi untuk membuat "gigi putih" itu mesti dijaga supaya sesuai dengan brand promise. Sumber daya manusia yang direkrut pun sejak awal sudah harus mengerti hal itu.
Finance pun diarahkan untuk "membiayai" supaya "gigi putih" itu akan semakin menjadi kenyataan dan semakin banyak pemakainya. Karena itu, spending dalam bentuk iklan, penelitian dan pengembangan, pelatihan SDM, dan sebagainya juga jadi terarah!
Bagaimana channel? Wah, para distributor Unilever jadi "nurut" saja pada permintaan Unilever untuk melakukan investment di infrastuktur seperti mobil kanvas, gudang, atau komputer! Kenapa?
Ya karena Unilever punya bargaining position kuat lantaran punya brand yang kuat! Bahkan, distributor pun "rela" diatur oleh Unilever dalam hal order barang dan harga jual ke retailer! Sekali lagi, semua itu terjadi karena ada brand yang kuat!
Terus terang, itulah yang saya lakukan pada hari pertama MarkPlus: menentukan "arah" atau bahkan reason for being bagi kelahiran MarkPlus Professional Service. Kalau tidak ada alasan yang kuat dan unik dalam mendirikan suatu perusahaan, aktivitas lain akan jadi "sporadik".
Buat saya, business is marketing plus others adalah reason for being, bukan sekadar suatu Logo. Saya sangat yakin bahwa hal itu sangat benar adanya. Juga, semua produk saya dan semua aktivitas harus menunjang hal itu!
Saya juga percaya bahwa logo harus jelas dan gampang dimengerti.
Apalagi kalau saya mendirikan suatu perusahaan baru yang belum dikenal!
Saya masih ingat, kata-kata Putera Sampoerna bahwa makna SAMPOERNA yang juga sembilan huruf itu jauh "lebih bagus" daripada Dji Sam Soe yang waktu itu lebih dikenal! Karena itulah, keputusan dia adalah memakai Sampoerna sebagai corporate brand, bukan Dji Sam Soe! Dengan demikian, semua aktivitas harus diarahkan untuk menjamin "ke-Sampoerna-an"!
Lantaran begitu terobsesinya saya pada kekeramatan angka sembilan, saya sampai percaya bahwa logo MARKETING yang berjumlah sembilan huruf itu akan membawa hokkie pada saya. Karena itu, saya tetap percaya bahwa MarkPlus tidak akan "mak" atau mulai dan "plus" atau mati dalam waktu tiga bulan, seperti ramalan teman saya.
Pelajarannya?
Mulailah dengan logo dengan "makna yang dalam" sebagai reason for being bagi suatu perusahaan baru! (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar