Dahlan Iskan, Putera Sampoerna, dan Ciputra: Beda tapi Sama.
SAYA sudah menulis tentang tiga "guru" saya itu sebelum mulai MarkPlus Professional Service pada 1 Mei 1990 di Surabaya. Ketiganya sangat berbeda, tapi ketiganya sangat sama. Lihat saja.
Dahlan Iskan, bekas wartawan, asal Magetan, lulus IAIN jurusan hukum. Setelah jadi kepala Biro Tempo di Surabaya, dia ditunjuk untuk memimpin Jawa Pos yang waktu itu "hidup susah, mati segan". Setelah membesarkan Jawa Pos Group ke seluruh Indonesia, dia mencoba masuk ke berbagai bisnis lain.
Tidak semua bisa sukses sebesar Jawa Pos Group yang di media. Tapi, Pak Dahlan memang ingin menunjukkan kepada orang bahwa dia tidak hanya bisa di bisnis media. Dia selalu menyukai tantangan. Pada waktu ini, banyak orang yang berharap dia berhasil di PLN. Kayak sebuah mission impossible. Itulah Dahlan Iskan.
Lalu, Putera Sampoerna memang lahir sebagai anak orang kaya. Dia adalah generasi ketiga keluarga Sampoerna. Kakeknya, Lim Seng Tee, yang pertama merintis perusahaan rokok yang sekarang sudah menjadi nomor satu di Indonesia itu. Generasi kedua adalah bapaknya, Lim Swie Ling. Banyak orang bilang bahwa tiap generasi di Sampoerna punya produk unggulan.
Kalau generasi pertama bikin Dji Sam Soe dan generasi dua meluncurkan Sampoerna Hijau, Pak Putera bikin A Mild! Berbeda dengan anak orang kaya lain, Pak Putera adalah pekerja keras. Walaupun bahasa Indonesianya patah-patah, jiwanya sangat nasionalis! Dia menjungkirbalikkan semua kebiasaan yang ada di Sampoerna.
Generasi pertama melahirkan, kedua membesarkan, dan yang ketiga menghancurkan? Itulah "doktrin" bisnis keluarga yang tidak boleh terjadi Sampoerna. "I don't want to make it happen," katanya suatu hari. Karena landscape berbeda, dia selalu "inovatif" untuk mengalahkan perubahan di luar.
Keputusan-keputusan yang penting harus diambil penuh risiko. Dan, itulah Pak Putera yang berani mempertaruhkan kebijakannya walaupun agak ber-resi-ko! Dia berani "utang bank" yang dulu tidak pernah dilakukan dua generasi sebelumnya. Begitu juga iklan dan promosi.
Distribusi diganti, dari model distributor menjadi branch management. Apalagi go public yang berarti menyerahkan sebagian kedaulatan perusahaan ke pihak luar! Bahkan, yang paling kontroversial, menjual seluruh perusahaan selagi harga saham bagus!
Bagaimana dengan Ciputra? Kelahiran Manado, Pak Ci lulus dari ITB. Pergi ke Jakarta dan "menantang" gubernur DKI Jakarta untuk, antara lain, membangun Ancol! Tiap sepuluh tahun, ada perubahan model bisnis.
Sepuluh tahun pertama, jadi eksekutif Jaya Group sambil punya saham. Sepuluh tahun kedua berbisnis dengan teman-temannya untuk bikin "Sang Pelopor" group. Sepuluh tahun terakhir and beyond berbisnis bersama keluarga sendiri. Saya ikut "mendorong" Pak Ciputra untuk berani memakai kata Ciputra sebagai brand, menggantikan kata Citra. Waktu itu, orang bingung membedakan Citra Group dengan Bimantara Citra dan Citra Lamtoro Gung.
Sekarang? Ciputra sudah melanglang buana. Punya banyak proyek properti di luar Indonesia. Di Indonesia, Pak Ciputra sering diajak kongsi oleh orang-orang Indonesia yang punya "land bank", tapi nggak tahu cara menggarapnya. Ciputra bukan sebuah nama lagi, tapi sebuah premiere brand yang susah payah dibangun tiga puluh tahun lebih.
Nah, ketiganya tampak sangat berbeda kan? Tapi, Anda tahu kan apa yang membuat ketiganya sama benar! Apa itu?
Entrepreneurship!
Lihat saja bagaimana mereka berani mengambil risiko untuk membuat atau menjalankan bisnis secara lahir. Bagaimana mereka bisa membaca peluang sebelum mengambil keputusan. Selain itu, tentu saja cara mereka "meyakinkan" orang lain untuk men-support ide tersebut.
Sampai sekarang pun mereka tidak pernah berhenti berinovasi! Jadi, mereka sangat berbeda, tapi sekaligis juga sangat sama! Karena itulah, banyak benang merah yang bisa saya pelajari dari tiga orang tersebut! (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar