Posted By Yuyun Manopol On September 2, 2010 @ 6:49 am In HEADLINE, Sajian Utama, Swa Majalah
Spirit hidup dan dukungan lingkungan yang kuat mampu mengalahkan banyak persoalan yang dihadapinya akibat kanker getah bening yang dideritanya sejak remaja. Bagaimana perjuangan lelaki nyentrik ini membangun percaya diri dan mencapai prestasi luar biasa?
Suaranya yang lantang dan berat membahana di auditorium Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Depok ketika Handry Satriago, Direktur Power Generation GE Energy (wilayah Indonesia, Vietnam, Filipina, Kamboja), memaparkan disertasinya dalam sidang terbuka, 23 Juli 2010 pukul 14.00 WIB. Sekali-kali dua pria berbadan besar membantu dirinya berpindah posisi karena kursi roda yang digunakan tak memungkinkannya mendekati para penguji yang berada di lantai yang lebih tinggi. Sekitar satu jam kemudian, pengunjung yang memenuhi auditorium bertepuk tangan ketika ia dinyatakan berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul Examining the Followers Influence on Leader’s Performance: A Reverse Pygmallion Effect. Keberhasilan peraih gelar doktor yang ke-117 dari UI dalam Ilmu Manajemen Strategis ini disambut haru keluarga dan rekan-rekannya – terutama sesama alumni Institut Pertanian Bogor dan SMA Lab School Rawamangun.
Co-Promotor disertasi Handry, Budi W. Soetjipto, DBA, menilai Handry sosok tergolong gigih dalam menyelesaikan disertasinya di tengah kesibukannya sebagai eksekutif GE Energy Asia Tenggara. Budi mengaku kerap melakukan bimbingan disertasi pada malam hari, di kafe ataupun lobi lounge hotel. Bahkan, ia pernah melakukan bimbingan atas permintaan Handry di Bangkok, karena kebetulan sama-sama sedang berada di sana. “Ia mandiri dan organized. Ketika ketemu, dia tidak datang dengan masalah. Pokoknya, cepat beres,” ujarnya.
Salah seorang anggota penguji disertasi, DR. Sari Wahyuni menyebut penelitian Handry tentang followership dan peranan pentingnya dalam proses kepemimpinan, merupakan hal yang inovatif dan tidak biasa. “Umumnya orang membahas tentang leadership, bukan followership,” ujarnya. Dan yang membuat Sari salut dengan Handry adalah nilai IPK Handry yang nyaris sempurna alias 4 – cuma satu mata kuliah yang mendapat nilai B, lainnya A. “Itulah sebabnya saya ingin co-promotor saya Pak Budy, karena dia satu-satunya yang memberi nilai B. Dia pasti benar,” ujar Handry penuh kelakar.
September 2010 ini, pria berdarah Minang berusia 41 tahun ini secara resmi akan naik pangkat sebagai President GE Indonesia. Jelas, pencapaian akademis dan juga kariernya sebagai eksekutif merupakan hal luar biasa di Tanah Air, mengingat keterbatasan fisik yang dideritanya. Ceritanya cukup panjang, dan untunglah Handry mau berbagi kisahnya.
Belasan tahun lalu, tepatnya beberapa hari setelah ulang tahun yang ke-18 pada Juni 1987, Handry didiagnosis mengidap kanker kelenjar getah bening di tulang belakangnya. Saat itu ia tidak menyangka bahwa akibatnya ia akan duduk di kursi roda hingga bertahun-tahun lamanya. “Awalnya saya sakit punggung. Lalu, dibawa ke dokter, katanya rematik dan sebagainya. Tetapi makin lama kok makin lemas. Akhirnya melalui berbagai potret, diketahui ada kanker dan kemudian kankernya dibuang,” ceritanya.
Namun, dampaknya sungguh memberikan pukulan berat buat anak SMA periang ini: ia tidak bisa jalan. Itu terjadi sejak September 1987. “The world is black,” ungkap pria kelahiran Pekanbaru 13 Juni 1969, yang mengaku kala itu sangat syok, tidak tahu lagi apa yang ingin dilakukan. Padahal sebelumnya ia sempat bercita-cita kuliah di Stanford University, Amerika Serikat. “Saya (waktu itu) marah pada Tuhan. Saya merasa mimpi saya dipotong. Saya ingin sekolah di luar negeri, tapi tidak bisa,” tuturnya dengan nada yang masih mendalam.
Untunglah, putra tunggal dari pasangan Djahar Indra dan Yurnalis ini memiliki keluarga dan teman-teman yang amat suportif. “Ada dua hal yang tidak bisa saya abaikan,” ujar pria yang memiliki keluarga cenderung beranak tunggal ini. Hal pertama yang membuatnya memiliki spirit untuk melanjutkan hidup dengan sebaik-baiknya adalah dorongan orang tuanya yang mengatakan masih banyak yang bisa dinikmati walaupun dengan kondisi terbatas. Orang tuanya berujar, hidup tidak bisa dinikmati kalau dia tidak mau ngapa-ngapain. Maka, ia disarankan melakukan upaya ekstra. “Kalau kamu senang dengan suasana sekolah, ya pergi dong ke sekolah itu,” ujarnya menirukan ucapan orang tuanya. Ia melihat orang tuanya tidak menunjukkan kecemasan yang berlebihan. Tak pernah Handry melihat ibunya sampai datang ke sekolah. Alhasil, ia merasa orang tuanya yakin bahwasanya ia bisa terus menjalani kehidupannya.
Hal kedua adalah dorongan teman-temannya, terutama di SMA Labschool Rawamangun. Ia merasa keakraban dengan teman-teman sangat kuat karena mereka memiliki kelas-kelas kecil, yakni hanya 120 murid per angkatan.
“Saya tidak akan berhasil kembali ke sekolah kalau teman-teman saya tidak yakin saya bisa sekolah,” ujar Handry. “Guru dan teman-teman saya di sekolah sangat helpful and treat me as a normal,” katanya lagi mensyukuri. “Mereka bilang, ‘Lu nyusahin aja, kagak jalan. Capek nih ngedorong lu,” ujarnya mengutip banyolan teman-temannya saat itu. Handry sendiri mengaku sosok humoris. Ia tak segan-segan melontarkan kelakar yang menggelitik dan membuat tiap orang di dekatnya tertawa terbahak-bahak. Dan, ia merasakan justru hal itu yang membuatnya merasa berada di lingkungan normal.
Toh, ia mengakui sejumlah persoalan kerap merepotkan aktivitasnya. Dengan terbuka, Handry mengungkap salah satu contohnya: buang air kecil. Sepengetahuannya, secara umum penderita penyakit tulang belakang tidak tahu kapan akan buang air kecil. Maka, banyak dari mereka yang dipasangi kateter. Namun risiko infeksinya besar sekali. “Kebetulan saya termasuk yang tidak parah. Saya masih bisa merasa mau pipis, walaupun tidak bisa menahan lama. Jadi, saya iketin plastik saja,” ujarnya gamblang. Beberapa waktu kemudian, ia mengenal urine bag yang bisa dilem atau diikatkan ke kaki. “Jadi lebih praktis.”
Itu baru satu hal, belum termasuk yang lebih sulit semisal buang air besar. A pula yang tak kalah merepotkan, yakni ketika ia ingin nongkrong dengan teman-temannya dan mengobrol. “Saya kembali melakukan ‘pembangkangan’. Bahwa saya ingin menikmati itu,” ujar mantan Ketua Science Club di SMA Labschool Rawamangun ini. Untuk ini upayanya jauh lebih susah karena harus ada mobil plus sopir buat mengantar dan mengangkatnya.
Masa yang juga mengesankan bagi proses pengembangan kepribadian Handry adalah ketika memasuki IPB. Rupanya Handry sempat mengambil cuti kuliah dulu selama satu tahun ketika masuk IPB. Alasannya, “Saya sempat tidak yakin saya bisa. Karena saya kehilangan teman-teman Labschool saya,” ujarnya. Respons ayahnya sangat mendukung karena mantan pegawai logistik Total Indonesia itu ingin anaknya berobat dulu. “Memang lebih membaik, tapi masih pakai tongkat. Artinya belum normal penuh,” ujarnya.
Menurut Handry, orang tuanya memiliki gaya sendiri dalam mendidik dirinya. “Kami bukan keluarga akademisi. Ayah saya bukan orang berpendidikan tinggi. Ibu saya juga,” ujarnya. Namun tempat untuk berekspresi selalu tersedia. Apalagi, di lingkungan tempat tinggalnya di Kompleks Wartawan Cipinang, ia punya tetangga dengan nama besar seperti Gunawan Mohamad dan Atmakusumah. “Itu semua yang membuat saya punya cara berpikir bebas, bisa melihat dari berbagai angle. Ini juga mendorong saya untuk memiliki mimpi yang bisa dilihat dari berbagai macam angle,” katanya seraya mengakui dalam perjalanannya mimpi tersebut beberapa kali mengalami pembelokan karena situasional. “Saya selalu bermimpi untuk menjadi seseorang yang berguna,” ujarnya mengenai prinsipnya. Satu hal yang selalu diajarkan ibunya dan diingat Handry adalah bahwa to love is to give (mencintai berarti memberi).
Hal-hal seperti itu yang ikut menguatkan Handri masuk kuliah di IPB tahun berikutnya. Ia mengakui, suasana di kampus sangat berbeda dari lingkungannya selama ini: banyak mahasiswa asal daerah dan mereka tampak sangat agamis. Handry merasa hal ini sangat kontras dengan dirinya yang lebih suka tampil nyentrik: dengan rambut gondrong dan kerap memakai celana jins sobek. “Metal deh,” katanya mengistilahkan tampilannya. Menurutnya, hal itu ia lakukan hanya buat menyenangkan hati. “Barangkali saya ingin berusaha menunjukkan bahwa saya tidak lemah. Tapi, terus terang saya juga tidak tahu persis mengapa dulu melakukan itu.” Meskipun penampilannya nyentrik, ia mengaku amat senang bergaul. Tak heran temannya banyak dari berbagai golongan, agama, politik dan level ekonomi yang berbeda.
Di IPB ia mengaku beruntung menemukan teman-teman baru yang sangat mendukungnya. Pengalaman yang paling mengesankan setiap kali memasuki laboratorium yang berada di lantai empat – yang untuk naik ke lantai yang lebih tinggi hanya bisa lewat tangga. “Saya dibopong ke atas. Tapi, teman-teman punya keyakinan bahwa saya tetap bisa menjadi insinyur dengan cara kayak gitu,” ujar mantan pendiri Himpunan Mahasiswa Pecinta Bioteknologi dan peraih penghargaan dari Presiden Soeharto tahun 1993 sebagai mahasiswa berprestasi tingkat nasional ini.
Waktu terus berjalan. Di ujung penyelesaian kuliahnya, cobaan baru datang lagi: kanker baru tumbuh. Kali ini di pinggang. Ia sempat mengalami pendarahan ketika sedang mengikuti sidang ujian skripsi. Selepas sidang, setelah pulang ke Jakarta dari Bogor pada malam hari, esok paginya ia masuk rumah sakit untuk menjalani kemoterapi. Meski dengan kendala fisik seperti itu, ia bisa menyelesaikan kuliah S-1 di IPB dengan IPK amat mengesankan.
Setamat dari IPB, tahun 1994 ia sempat bekerja di GMT Group (perusahaan konstruksi). Posisinya sebagai Asisten BOD Analisis Bisnis dan Technology Assessment GMT Group (1992-1994). “Sebenarnya sih hanya tukang ketik dan menganalisis sesuatu,” ujarnya setengah berkelakar. Khawatir tak bisa berkembang lebih jauh, ia memutuskan keluar dan sekolah MM double degree di Institut Pengembangan Manajemen Indonesia (IPMI) – yang bekerja sama dengan Monash University – pada 1996.
Seperti halnya di IPB, Handry berhasil menyelesaikan kuliahnya dengan prestasi yang membanggakan. Ia berhasil menyelesaikan kuliahnya dalam setahun dengan predikat cum laude. Prestasinya di tengah kendala fisik ini rupanya menarik minat pencari bakat terbaik dari GE. Pada 1997, ia pun ditawari GE Indonesia untuk bergabung. “Awalnya jawaban saya tidak mau karena saat itu saya sudah memiliki perusahaan sendiri dan punya duit,” ujar pria yang sempat menekuni bisnis desain grafis ini. Toh, begitu ia diberi tahu posisi yang ditawarkan adalah manajer pengembangan bisnis dan sejumlah keuntungan yang akan diperolehnya, Handry yang saat itu berusia 28 tahun akhirnya menerima. Menurutnya, posisi yang ditawarkan saat itu menggantikan Hotasi Nababan – mantan eksekutif GE Indonesia yang pernah menjadi CEO PT Merpati Nusantara Airlines.
Tahun 1998 Indonesia mengalami krisis. Saat itu GE meluncurkan program rotasi, di mana dalam dua tahun karyawannya harus dirotasi. Kala itu ia minta dipindahkan dari divisi korporat ke unit bisnis yaitu GE Lighting. Hal ini sempat mengagetkan atasannya. “Sebab, ini bisnis ritel. Dan, dari sisi size, bisnis GE Lighting amat kecil dibanding energi,” ujarnya. GE secara umum lebih suka menangani bisnis yang besar seperti menjual turbin. Alasannya, deal bisnis tersebut bersama orang level atas. Sementara jika menangani lighting, mereka harus berhubungan dengan peritel, distributor, dan agen. “Bahkan, akhirnya kantor saya pun dipindah dari yang tadinya ruangan ke cubical,” ujarnya.
Itulah Handry, yang merasa menyukai tantangan. “Saya merasa ini bisnis menarik karena banyak sekali tantangannya: sebagai pemain baru, lampu impor, kurs juga berubah sampai Rp 15 ribu/US$,” ujarnya. Ia sendiri menyadari apa yang akan ia lakukan adalah hampir tidak mungkin direalisasi. Maklum, penguasa bisnis ini saat itu adalah Philips. Tak heran, sebelumnya di GE tak ada yang melirik bidang ini.
Toh Handry tak gentar. Konsekuensinya, ia harus mengembangkan tim sendiri. “Tim saya anak-anak muda. Dan, kami berhasil grow dari zero hingga (beromset) US$ 3 juta dalam waktu dua tahun (1998-2000),” kata pria yang saat itu menduduki posisi General Manager GE Lighting (wilayah Indonesia dan Brunei Darussalam). Di antara hasil yang mengesankan, yakni tuntasnya proyek tata cahaya di Bandara Ngurah Rai dan Candi Prambanan. “I’m very proud of that team. Saya merasa melakukan banyak hal yang tadinya mission impossible,” ujarnya. Dan, bagi Handry saat di GE Lighting ini merupakan salah satu momen terbaiknya sebagai orang GE.
Pada 2000 ia pindah ke Divisi Power System GE. Dengan kata lain ia berpindah dari produk konsumer ke bisnis proyek. Di sini ia menangani aktivitas Six Sigma GE yang merupakan program quality improvement GE. Bahkan ia sempat menjadi Direktur Six Sigma Quality Asia, ACFC Program, GE Energy (2003–2005).
Yang juga cukup mengesankan bagi Handry ketika ia dipercaya mengurus penjualan pada 2005. “Saat itu penjualan pembangkit listrik (power generator) GE Indonesia masih zero, alias tidak ada penjualan,” ujarnya. Tantangan terbesar baginya adalah mengembalikan Indonesia ke peta power generation GE worldwide. “Kami pun akhirnya berhasil menjual 160 MW dari sebelumnya 0 MW,” katanya bangga. “Tapi, itu bukan karena hebatnya saya. Lebih dikarenakan adanya tim,” tambah Direktur Penjualan Power Generation Indonesia GE Energy (2005–2009) ini. Diungkapkan pula, sejak ia bergabung di bisnis proyek, dalam waktu sebulan ia mampu mencatatkan satu proyek.
Keberhasilannya ternyata terus berlanjut. Diklaimnya, saat ini dari total 25 ribu MW kapasitas terpasang listrik di Tanah Air, 500 MW di antaranya merupakan hasil penjualan tim Handry. “Bisa dibilang ini yang bikin saya senang. Jualan saya ada gunanya. Dan ini membuat saya menjadi penjual tenaga listrik terbesar di ASEAN,” ujar Direktur Penjualan Power Generation GE Energy untuk Indonesia, Vietnam, Filipina, Kamboja (2009–2010) ini sambil tersenyum lebar.
Jika dicermati perjalanan karier Handry di GE terbilang panjang. Tepatnya sudah mencapai 13 tahun lamanya. Nah, awal September tahun ini ia dipromosikan resmi menduduki posisi nomor satu di GE Indonesia, yang berarti membawahkan bidang Energi dan Infrastruktur Teknologi. Posisi ini menempatkan dirinya sebagai pemimpin termuda dalam jajaran top eksekutif GE global, sekaligus jebolan perguruan tinggi lokal pertama yang didaulat sebagai komandan GE di Tanah Air. Ia menggantikan David Utama yang kabarnya dipercaya memimpin GE Healthcare Asia Tenggara.
Boleh jadi, penunjukan Handry sebagai komandan GE di Indonesia ada kaitannya dengan dialognya dengan CEO GE, Jeff Immelt, ketika bertandang ke Indonesia beberapa waktu lalu. Ceritanya, pada 2009, CEO GE datang ke Indonesia dan berbicara di hadapan karyawan GE di Indonesia tentang potensi negara ini sebagai future market. Mendengar hal itu Handry pun sempat bertanya kepadanya, “Kita sudah capek mendengar Indonesia selalu menjadi future market bagi GE. We make it now market,” katanya menceritakan pendapatnya saat itu. Dalam pandangan Handry jika Indonesia hanya menjadi future market terus, maka upaya (effort) yang dilakukan pun masih bersifat future. Untuk itu ia berpendapat, “Let’s do something different. Jangan cuma jadi equipment supplier. Bisa nggak kita jadi partner,” ujarnya. Ia kemudian membandingkan perusahaan-perusahaan Korea di Indonesia yang bisa bergerak lebih cepat. Mereka berinvestasi dan melakukan banyak hal di Indonesia. Mereka mengalami banyak kesusahan yang sama tetapi mereka menancapkan kukunya lebih dalam. “Nah, mereka panen sekarang,” ungkapnya. Ternyata bos Handry menanggapi serius. “Okay let’s do something different,” katanya. Nah, setahun sesudah itu, “I got this assignment. Apakah ini related? I don’t know,” ujar suami Dinar Sambodja, mantan karyawan GE di Yogyakarta yang kini menekuni profesi notaris.
Handry mengaku saat ini ia masih susah menyebutkan rencana dan strateginya dalam membesarkan GE Indonesia ke depan. Alasannya, ia baru diangkat per 1 September. Toh, secara garis besar ia punya satu target. “Saya ingin membuat GE lebih besar. Very big,” ujarnya. Caranya, saat ini ia sedang memperkuat kemampuan GE Indonesia menjadi partner and total solution provider to customer. “Sebab, jika hanya menjadi good equipment supplier saja, barangkali tidak cukup. Harus jadi partner!” katanya optimistis. Lalu, apa sih moto hidupnya sehingga ia bisa melewati tantangan berat tetapi dengan pencapaian prestasi mengesankan? “Enjoy saja! Saya suka ketawa. Kalau ada enjoy yang halal, jangan dibuang. Nikmati saja,” katanya ringan.
Link:
http://swa.co.id/2010/09/handry-satriago-kanker-tak-bisa-membendungnya-jadi-doktor-dan-president-ge-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar