Grow with Character! (83/100) Series by Hermawan Kartajaya - ASEAN, Here I Come!
ASEAN, Here I Come!
BEGITU masuk daftar 50 guru dari CIM-UK, undangan untuk berbicara di luar negeri semakin sering. Terutama dari teman-teman di APMF. Bicara di Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok, Manila, Ho Chi Minh City, dan Brunei Darussalam menjadi biasa saja.
Dari Jakarta, kota-kota itu terasa "dekat". Bukan hanya secara geografis, tapi juga secara social culture. Orangnya hampir sama, sulit membedakan satu sama lain. Baru ketahuan kalau mulai berbicara. Makanan dan minuman juga kurang lebih sama. Saya juga menemukan hal yang sama ketika mengunjungi Kamboja, Myanmar, dan Laos.
Saya merasakan benar bahwa sepuluh negara ASEAN ini memang wajar bergabung. Saya semakin tertarik menjadi aseanist ketika melihat semangat teman-teman diplomat di Deplu. Ada Direktur Jenderal yang khusus mengurusi ASEAN. Bahkan, direktorat jenderal ini sangat penting dibanding yang mengurusi kawasan lain.
Mengapa? Ya, karena Indonesia bisa berperan besar di ASEAN. Di zaman Pak Harto dulu, Indonesia paling "ditakuti" di ASEAN. Apalagi, setelah Marcos "jatuh". Setiap ada ketegangan antara Singapura dan Malaysia, Indonesia-lah yang selalu menjadi penengah. Soeharto seolah jadi big brother dari Lee Kuan Yew dan Mahathir Mohamad. Sesudah krisis Asia, Soeharto jatuh, tapi mereka berdua masih sangat respek pada beliau. Karena itulah, Sekretariat ASEAN yang permanen ada di Jakarta! Jadi, walaupun situasi berubah, Jakarta tidak bisa di kutak-katik lagi.
Di APMF sendiri, lima Asosiasi Marketing dari ASEAN yang paling aktif. Selain IMA atau Indonesia Marketing Association, ada MIS (Marketing Institute of Singapore), IMM (Institute of Marketing Malaysia), MAT (Marketing Association of Thailand), dan PMA (Phillipines Marketing Association). Saya selalu memberikan semangat kepada mereka supaya kompak dan IMA ditunjuk menjadi "koordinator" bagi lima asosiasi nasional ini. Sekarang Vietnam Marketing Association atau VMA juga sudah bergabung di AMF atau Asia Marketing Federation, nama baru APMF.
Karena itulah, pada 2003 itu juga saya menyelenggarakan ASEAN Marketing Konferensi untuk kali pertama. Tempatnya pakai sekretariat ASEAN di Jakarta. Gedungnya keren, kayak "mini UN"!
Waktu itu saya mengundang Pak SBY yang menjabat Menko Polkam. Presiden RI waktu itu sudah Megawati yang menggantikan Gus Dur. Saya masih ingat, waktu itu, SBY "geram" akan bom Bali yang baru terjadi. Dalam keynote speech-nya, SBY mengatakan bahwa beliau sangat serius untuk mencari pelakunya. Selain itu, SBY menjamin keamanan seluruh peserta ASEAN Marketing Conference.
Saya juga mengundang Tony Fernandez yang baru saja mulai dengan Air Asia-nya. Saya kenal dia karena sempat bicara di panggung yang sama dari Stratgic Marketing Conference yang diselenggarakan ASLI atau Asia Srategic Leadership Institute di KL. Ketika itu Tony bahkan mengajak saya melihat kantornya yang relatif kecil di KLIA. Saya mengundang Tony untuk bicara juga, karena he is also an Aseanist. Orang Malaysia memang lebih berpikir regional, karena pasar domestik mereka hanya 26 juta orang. Hampir sepersepuluh Indonesia. Apalagi, Singapura yang penduduknya cuma 4 sampai 5 juta orang.
Mereka mau tidak mau harus berorientasi internasional, bukan hanya ASEAN. Goh Chok Tong, bekas prime minister sekarang senior minister bahkan pernah menganjurkan untuk menganggap seven hour flight from Singapore adalah pasar mereka!
Sedangkan Indonesia yang "kaya raya loh jinawi ijo royo royo" ini sering malas keluar negeri. Lha wong pasar domestik saja gak abis-abis, buat apa keluar? Ketika Tony Fernandez bicara, banyak orang terinspirasi dan sadar bahwa Asean is one and going to be number one. Dari Indonesia saya mengundang Martha Tilaar yang produk Sari Ayu dan spa-nya juga sudah ada di beberapa kota ASEAN. Ini penting supaya ada contoh lokal dan orang Indonesia tidak hanya puas dengan jadi "jago kandang"!
Acara penutupan konferensi yang sukses itu disponsori Sari Ayu dengan fashion show Indonesia. Sebagai tuan rumah, saya ingin menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara terbesar secara ekonomi di ASEAN. Secara politik pun Indonesia merupakan negara demokratis terbesar. Secara budaya apalagi. Negara yang paling diversified di seluruh ASEAN. Saya memimpikan Indonesia harus "balik lagi" menjadi pemimpin de facto Asean seperti zaman Sohearto dulu! Karena itu, saya tidak berhenti sampai di konferensi.
Saya mengajak Philip Kotler lagi untuk menulis buku keempat tentang ASEAN. Pada mulanya dia ragu karena waktu itu ASEAN hampir tidak terdengar di Amerika. Tiongkok dan India sudah "menggeliat". Tapi, setelah saya yakinkan dengan data dan saya tunjukkan bahwa ASEAN akan semakin berperan sebagai "penengah" antara India dan Tiongkok, dia setuju!
Kali ini saya mengajak kembali Prof Hooi Den Huan dari Nanyang Business School. Judulnya saya usulkan Think Asean!", yang akhirnya diterima oleh McGraw-Hill Asia. Untuk membantu riset dan penulisan, saya melibatkan Waizly Darwin dan Iwan Setiawan. Mereka berdua waktu itu adalah business analyst muda yang brilian. Waizly sekarang sudah menyelesaikan Nanyang Fellows yang merupakan program master prestisius dari Nanyang Business School bekerja sama dengan Sloan MIT.
Sekarang Waizly adalah chief new wave officer dari MarkPlus Inc dengan tugas khusus. Menghorizontalkan MarkPlus! Sedangkan Iwan Setiawan masih di Kellogg School of Management, sekolah marketing nomor satu di dunia. Dia adalah co-author saya bersama Philip Kotler untuk buku kelima saya. Dia akan lulus pada 19 Juni 2010, empat hari sesudah buku Marketing 3.0 diluncurkan di Kellogg.
Balik ke Think Asean!, saya memperkenalkan konsep glorecalisation di situ. Global values, regional strategy, dan local tactic untuk MNC yang mau sukses di ASEAN. Artinya? Head office di Amerika, Eropa, atau Jepang memang harus menetapkan values yang harus "dipegang" di seluruh dunia. Tapi, strategi pemasaran termasuk proses order, servis, bahkan sering pengembangan produk baru, harus ada di regional office. Sedangkan soal taktik pemasaran serahkan saja sepenuhnya di kantor lokal tiap-tiap negara.
Lihat saja bagaimana Toyota mengembangkan Kijang Inova dan Avanza di Indonesia berbasiskan pasar ASEAN, bukan Jepang. Tapi, pemasaran lokal bisa disesuaikan dengan kondisi lokal masing-masing.
Sepeda motor Yamaha maupun Honda juga mengembangkan produk "bebek" dan belakangan "skutik" untuk ASEAN. Produk-produk itu tidak ada di Jepang!
ASEAN yang berpenduduk 570 juta orang cukup untuk memberikan scale of economies untuk MNC! Tapi, di buku itu, saya juga memberikan input untuk perusahaan-perusahaan "jago kandang". Kalau sudah jagoan di domestik, coba ASEAN dong. Dengan brand sendiri, jangan sekadar pintar "terima pesanan" untuk ekspor ke seluruh dunia. Kan ASEAN hampir sama social culture-nya, apalagi jaraknya dekat. Sudah seolah menyatu walaupun belum.
Apalagi, perusahaan Indonesia yang bisa "berlatih" di dalam negeri dengan 240 juta orang! Mestinya sudah punya scale of econmies untuk menyerang keluar. Buku ini di-launch pada 2005 oleh Sekjen Asean Ong Keng Yong bersamaan dengan pembentukan "Philip Kotler Center for ASEAN Marketing".
Prof Lim Cong Yah yang sangat senior di Singapura atas undangan Prof Hooi Den Huan hadir dan memberikan keynote-speech. Pak SBY ketika itu sudah menjadi presiden, baru saja menggantikan Megawati. MarkPlus sendiri? We are not only preaching! We are practising! Waktu itulah MarkPlus juga masuk Singapura dan Kuala Lumpur. Orang lain cuma bicara atau kasih motivasi. I talk the walk and walk the talk ! (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar