Oleh-Oleh dari ''Pengungsian'' di Washington DC
PENULISAN buku Repositioning Asia terbitan John Wiley, Asia, mulai ide sampai penerbitan makan waktu hampir dua tahun. Pada babak akhir penulisan, saya merasa beruntung karena sempat menemukan sebuah buku di Amerika.
Ketika itu, saya dapat undangan untuk berbicara di American Marketing Association Education Winter Conference. Diundang Prof Warren Keegan untuk bicara dalam sesi dia tentang Segmentasi Pasar di Masa Krisis. Undangan tersebut tentu saja tidak boleh disia-siakan, walaupun harus beli tiket sendiri.
Untuk itu, saya pakai semua poin yang sudah saya kumpulkan di Singapore Airlines. Ternyata, cukup untuk terbang ke New York City pulang-pergi. Dari New York, saya dibeliin tiket oleh Prof Keegan untuk terbang ke Boston, tempat konferensi dilaksanakan. Karena sudah tanggung sampai di Amerika dan di Jakarta lagi sepi, saya balik lagi ke New York.
Karena gak mampu bayar hotel, saya numpang di rumah Catharina Tjiook di Queens. Catharina adalah teman saya, orang Surabaya, dulu pernah jadi juara kompetisi tenis meja nasional. Waktu itu, dia memang sudah lama tinggal dan bekerja di New York sampai sekarang sudah menetap di sana.
Karena hanya ada satu kamar tidur, ya saya cukup tidur di sofa selama seminggu. I love New York, I really love it! Karena itu, saya menikmati saja selama seminggu di sana.
Saban hari, acara rutin saya joging selama sejam di neighborhood tempat tinggal Catharina. Sebelum balik ke apartemen, biasanya saya selalu singgah di warung McDonalds di dekat situ. Cukup satu quarter pounder, french fries, dan Coca-Cola. Acara sehat dan murah!
Abis mandi, terus naik subway nomor 7 ke Manhattan. Bisa pas berhenti di Times Square.
Saban hari ganti rute jalan-jalan menelusuri Kota New York! Semua pelosok saya datangi, termasuk Harlem yang seram itu. Saya juga sempat singgah di Gedung PBB dan melihat banyak selebaran yang ada foto para korban 13-14 Mei.
KBRI dan KJRI di berbagai kota di Amerika waktu itu didemo berkali-kali. Saya juga sempat ikut diskusi di kantor PTRI atau Perwakilan Tetap Republik Indonesia tentang kejadian Mei tersebut.
Di situlah saya bertemu banyak warga Indonesia di sana yang sangat menyesalkan terjadinya peristiwa Mei tersebut. Sampai akhirnya, citra Indonesia ketika itu benar-benar tercoreng di dunia internasional!
Yang mengharukan adalah pernyataan seorang perempuan aktivis dari Aceh. Dia sangat bersimpati atas kejadian yang menimpa beberapa korban perempuan Tionghoa di Jakarta. Kenapa?
Sebab, dia mengingat akan korban perempuan dampak dari Daerah Operasi Militer atau DOM di Aceh. Di situlah, saya melihat bahwa rasa kebangsaan Indonesia justru semakin kuat karena adanya peristiwa Mei 1998 tersebut.
Selama seminggu itu, saya benar-benar ngirit! Makan siang cuma beli hot dog di pinggir jalan yang dijual orang-orang hitam dengan harga satu setengah dolar! Makannya cukup sambil jalan, minumnya dari air pet di jalan-jalan. Makan malam biasanya disediakan gratis oleh tuan rumah. Tidak berani nonton Broadway karena harga tiketnya bagi saya ''naik lima kali lipat'' dalam rupiah.
Dari New York, saya menelepon Pak Dorodjatun Kuncoro Jakti di Washington DC. Waktu itu, beliau menjadi duta besar Indonesia untuk Amerika. Saya bilang saja terus terang pingin ke sana dan numpang di Wisma Indonesia.
Ketika beliau bilang oke, saya langsung naik bus Greyhound ke sana. Gak berani naik pesawat, takut kemahalan. Tapi, akhirnya tahu bahwa tiket bus ternyata jatuhnya lebih mahal! Mau ngirit jadi keliru.
Selama tiga hari saya tinggal di Wisma Indonesia. Wah, kayak masuk istana. Gede, bersih, banyak pelayan, dan makanannya ya makanan Indonesia. Saban pagi sarapan bareng Dubes dan istri. Pergi ke mana-mana diantar sopir orang Indonesia!
Waktu itu, saya diantar ketemu orang-orang Indonesia yang bekerja di IMF maupun World Bank. Juga sempat diwawancarai VOA atau Voice of America seksi Indonesia.
Waktu senggang, saya mampir ke Georgetown, mampir di toko buku favoritnya Pak Djatun. Nah, di situlah saya menemukan buku Crisis and Renewal! Sebuah buku hasil riset penulisnya, David Hurst, yang menunjukkan model sustainability loop.
Saya sangat suka model itu karena pas dengan yang sedang dialami Indonesia. Dalam buku tersebut ditunjukkan bahwa titik paling berbahaya ya ketika sebuah negara atau perusahaan berada di comfort zone. Lupa berubah, pasti terjadi krisis!
Karena itu, harus ada inisiatif untuk mengubah diri sebelum dipaksa berubah dari luar! Kalau pemerintah atau perusahaan selalu alert dan melakukan transformasi secara kontinu, akan terjadi sustainability. Akhirnya, model itu saya adopt ke dalam model 4C. Yaitu, change, competitor, customer, dan company.
Dengan demikian, model saya bertambah kuat. Karena landscape memang berubah terus, sebuah perusahaan memerlukan inisiatif untuk men-drive the loop. Supaya tidak sampai terjadi krisis!
Model loop itu pula yang merupakan simbolisasi bahwa antara makro (pemerintah) dan mikro (perusahaan) ya sama saja. Karena itu, ketika saya masukkan model tersebut ke Repositioning Asia, Profesor Kotler senang bukan main. Sebab, misi buku itu, dari semula, menerangkan krisis Asia yang makro menggunakan konsep marketing yang mikro.
Itulah oleh-oleh dari ''pengungsian'' selama krisis di Amerika.
Itu juga akan saya ceritakan pada sesi Lecture of the Decade dalam The MarkPlus Festival pada 1 Mei 2010. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar