Habis Gelap Timbullah Terang!
PADA 15 Mei 1998, sehari setelah riot di Jakarta, saya terbang ke Surabaya. Surabaya ternyata sangat tenang. Sama sekali berbeda dengan Jakarta yang kacau balau. Cuma, ada rumor di sana sini bahwa bisa jadi peristiwa di Jakarta terjadi pula di Surabaya.
Ketika itu rumah saya bercampur kantor di RMI atau Rukun Makmur Indah di Bratang Binangun Blok B-21 sejak 1995. Itu pertokoan dekat Kebun Bibit, Surabaya. Setelah lima tahun buka MarkPlus, saya memindahkan rumah di Taman Prapen Indah C8 ke sana. Sekalian digabungkan dengan kantor yang juga pindah dari Adityawarman 70 setelah menyewa selama lima tahun.
Itu dimaksudkan supaya efisien dan efektif. Meniru model di Jakarta, kantor dan tempat tinggal menjadi satu di Kompleks Pertokoan Duta Merlin Blok E-18. Saya suka model begitu, baik di Surabaya maupun Jakarta, terinspirasi oleh Putera Sampoerna. Eat, sleep, and dream with your business! Diartikan sebagai rumah dan kantor menjadi satu. Kan bisnis harus ''ditiduri'', begitulah filosofinya.
Pak Putera sendiri gak pernah punya ''rumah'' yang terpisah dari kantor. Di Surabaya, ketika itu, Pak Putera tinggal di dalam pabrik di Rungkut. Di Jakarta, ketika itu, Pak Putera tinggal di Grand Hyatt di sebuah kamar suite yang khusus didekorasi menurut kesukaannya. Sekarang tempat tinggalnya berada di gedung Sampoerna Strategic Square!
Ketika di rumah, saya ''ungsikan'' ibunya anak-anak ke Novotel Hotel, Kayun. Hanya untuk memberikan rasa ketenangan kepada dia. Setelah itu, saya balik lagi terbang ke Jakarta dan terus ke Bandung. Beberapa hari saya stay di Bandung karena harus bekerja untuk proyek Pos Indonesia.
Ketika itu Pak Cahyana, Dirut PT Pos yang sekarang menjadi pejabat eselon I di Kemenkominfo, me-review strategi pos pada masa mendatang. Dia khawatir PT Pos akan ditinggalkan orang karena internet sudah mulai populer. Orang tidak perlu menulis surat lagi. Begitu juga wesel. Orang kirim uang sudah menggunakan jasa perbankan.
Bagaimana paket? Sudah banyak courier service asing yang masuk! Karena itu, PT Pos harus survive dengan strategi baru. Saya melihat ''kekuatan'' PT Pos yang tidak dipunyai orang lain. Lebih dari 25.000 titik di seluruh Indonesia ada pos. Mulai kantor pos yang besar hingga pelayanan pos yang dijaga satu orang. Amazing kan?
Selain itu, PT Pos dipersepsi sebagai ''netral'' di seluruh dunia. Walaupun ada perang antardua negara, Mr Postman harus tetap mengantar surat untuk ''musuh''! Selain itu, bisnis filateli merupakan bisnis hobi yang sangat global dan besar. Berdasar itu semua, saya ingin menggunakan semua itu sebagai advantage, bukan beban. Karena itu, saya lantas mengusulkan supaya Pos Indonesia menjadi network company.
Artimya? Berubah total! Bukan menjadi kantor pos yang hanya kirim surat, wesel, dan paket, tapi sebuah perusahaan yang network-nya by default, gak ada yang bisa ngalahin. Dengan demikian, Pos Indonesia siap menjadi partneral dari courier service mana pun. Mana bisa, Fedex atau UPS menjangkau desa? Buat mereka pasti kemahalan.Jadi, mereka cukup menyerahkan kepada PT Pos Indonesia untuk masuk ke pelosok.
Apalagi, pada waktu itu PT Pos Indonesia sudah memasang internet untu menghubungkan titik-titik pelayanan itu. Surat yang mau dikirim lewat internet waktu itu bisa dicetak di tempat dan dikirim ke alamat oleh Pak Pos.
Maklum, waktu itu wartel belum masuk desa. Yang hebat, setelah saya membuat buku berjudul Bridging to The Network Company, Pak Mochtar Riyadi menelepon saya. Minta bertemu dengan Pak Cahyana Ahmadjayadi, CEO waktu itu. ''Ini gagasan luar biasa. Bank menjadi bisa bekerja sama dengan PT Pos untuk melayani kiriman uang ke seluruh pelosok.'' Itu ujar Pak Mochtar yang ketika itu sudah dianggap bank thinker di Indonesia!
Kepuasan terbesar seorang konsultan seperti saya adalah ketika rekomendasinya dipakai oleh klien. Dan yang penting, kliennya puas sekali!
Hingga sekarang, hubungan saya dengan Pak Cahyana masih sangat akrab. Personal relationship is much more important than professional one. Di mana pun beliau bertugas, saya diajak untuk membantu karena sudah ada trust mendalam.
Selama seminggu di Bandung menyelesaikan new blueprint Pos Indonesia itulah, saya melihat Pak Harto menyerahkan jabatan presiden kepada Habibie. Pas tanggal 21 Mei 1998 lewat TV! Saya juga melihat bagaimana Amin Rais dengan gagah perkasa ''menggerakkan'' massa mengepung gedung DPR dan MPR dan ''memaksa'' Pak Harto yang perkasa untuk turun.
Indonesia baru dimulai, MarkPlus baru juga mulai! Kalau tidak ada peristiwa 13-14 Mei di Jakarta, tidak akan ada Indonesia Baru. Otomatis, MarkPlus pun ya begitu-begitu aja!
Semua itu akan saya ceritakan pada sesi akhir di MarkPlus Festival 1 Mei 2010. Bagaimana saya ''membidik'' peluang kepada Post-Crisis Time! Anda siap? (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar