Three Crisis Segments: Snob, Smart, and Dumb!
TAHUN 1998 memang benar-benar berat bagi Indonesia. Juga bagi MarkPlus Professional Service yang baru berusia delapan tahun. Tapi, justru "momentum" itulah yang tidak mau saya sia-siakan. Ketika itu saya malah men-"deklarasi"-kan 1998 sebagai The exciting year!
Selain untuk memberikan semangat kepada orang lain, juga pada diri sendiri! Saya lantas malah menerbitkan buku khusus untuk menghadapi krisis. Buku itu saya mulai dengan mengatakan bahwa ada peluang yang justru bisa diambil di waktu krisis. Ketika semua orang "tiarap", justru yang "aktif" akan berpeluang untuk menang. Tentu saja harus membuang mental KKN jauh-jauh dan menggantinya dengan BTP. Bersih, transparan, dan profesional.
Tapi, itu pun tidak cukup. Harus diteruskan dengan PDB, yaitu positioning, differentiation, dan branding. Nah, kemudian saya memberikan tiga formula untuk mendapatkan peluang. Apa itu? Romancing, rationalising, dan economising the brand!
Pertama, romancing the brand! Strategi ini dipakai kalau brand image mau dijaga dan tidak hancur pada waktu Krisis. Bahkan, bisa "naik" kalau beruntung. Pada saat krisis, secara umum, orang jadi "miskin" dan "tidak percaya diri". Secara umum orang tidak berani spend money karena tidak tahu masa depan Indonesia. Tapi, tetap saja ada ceruk pasar yang malah menjadi "kaya" waktu krisis. Siapa itu? Orang yang menyimpan dolar AS (USD) pasti bertambah kaya. Ketika USD naik lima kali nilai tukarnya, sedang inflasi "hanya" 80 persen, semuanya jelas murah! Asal harga suatu produk atau jasa dalam rupiah!
Semua harga dalam USD waktu itu "menakutkan"! Dalam rupiah malah OK bagi para penyimpan USD. Banyak dari mereka yang "mencairkan" sebagian USD-nya ke rupiah dan membeli aset-aset apa saja, mumpung "murah". Tanah dan rumah yang "ditinggal" pemiliknya yang "lari" harganya miring dalam rupiah, apalagi dalam USD! Begitu juga orang yang menyimpan emas. Bukankah emas harganya "terikat" pada USD. Jadi, kaya mendadak kan?
Dan, bagi orang-orang ini yang secara strategic long term melihat Indonesia akan balik lagi dan bahkan lebih bagus malah akan "invest" di Indonesia. Tapi, selain inves, mereka melihat inilah waktunya enjoy (menikmati) luxury things. Dulu tidak terjangkau, sekarang mendadak bisa!
Sebuah hotel bintang lima, waktu itu, menawarkan paket honey moon lengkap pada akhir pekan. Termasuk kamar mewah dua malam plus tiga kali dining per hari plus massage, dan sebagainya. Sekarang, Anda mungkin nggak heran mendengar seperti itu. Tapi waktu itu, belum ada private villa dan belum ada segmen honey-mooner. Program itu ternyata bisa sukses besar di masa krisis. Semacam balancer pada kehidupan yang sedang susah! Beberapa orang memang lagi tidak mau bisnis dulu dan sambil menunggu krisis reda, menikmati bunga rupiah tinggi dan enjoy life!
MBA pun bermunculan dan cukup mahal. Daripada tak ada bisnis, banyak orang sekolah dulu, sambil menunggu krisis berakhir. Pak Jusuf Kalla yang waktu itu ketua Kadin Sulsel juga bercerita kepada saya. Dia memindahkan showroom mobilnya dari Makassar ke desa malah tambah laris. Kenapa? Banyak orang desa yang mengekspor komoditas, mendapat USD, dan jadi "kaya" dalam rupiah.
Menurut cerita, bahkan, di antara mereka ada yang membeli tiga BMW sekaligus. Dulunya, mereka cuma naik Kijang! Juga, katanya, mereka memasang antena parabola lebih dari satu! Supaya bisa melihat banyak channel luar negeri. Ngerti gak ngerti urusan belakang. Inilah yang saya sebut sebagai "snob" customer! Di masa krisis mendadak muncul snob segment.
Kedua, rationalizing the brand! Saya juga menyebutnya sebagai downscaling. Mempertahankan brand image, tapi tetap rasional. Membuat kemasan lebih kecil adalah salah satu cara pelaksanaannya. Ketika itu, banyak brand yang mempertahankan mutu, tapi mengurangi kuantitas. Walaupun harga per unit "jatuhnya" lebih mahal, jadinya lebih affordable Mengganti beberapa bahan dengan substitusi yang lebih murah, tapi berkualitas sama. Harapannya, cost bisa lebih "ringan", tapi pelanggan tidak "berkorban" kualitas.
Ada lagi yang mengganti packaging dengan yang lebih murah, tapi isinya dipertahankan. Kan pelanggan bisa "maklum" karena ada krisis.
Waktu itu juga banyak "warung dadakan". Berbagai anak muda, termasuk selebriti, berkongsi untuk membuka warung. Makanan hotel, tapi dijual di pinggir jalan dengan harga miring. Paket hemat di restoran chain juga banyak, untuk mempertahankan pelanggan supaya tidak "diambil" warung dadakan ini. Segmen ini saya sebut smart segment. Orang-orang yang "pintar" berhitung value for money dari suatu penawaran.
Ketiga, economising the brand! Di sini kualitas benar-benar turun! Karena sudah tidak kuat lagi. Toh, memakai strategi kedua sudah tak bisa lagi. Kapasitas terpasang sudah ada, terpaksa bermain harga, tapi kualitas sekaligus turun. Ini bahaya untuk brand! Ketika krisis selesai, bisa repot. Tapi, kalau memang sudah "diniati" turun kelas, ya tak apa apa.
Atau? Pakai brand baru di waktu krisis. Mau diteruskan sebagai second brand sesudah krisis selesai, boleh. Tapi, kalau tak mau diteruskan, juga tak apa-apa. Sekadar "menyambung hidup" di waktu krisis. Bagi saya, ini yang disebut dumb segment. Orang-orang berpenghasilan tetap yang purchasing power-nya merosot karena hyperinflation! Termasuk di sini juga banyak orang yang dipecat dari perusahaan. Tapi, beberapa dari mereka malah berhasil menjadi entrepreneur dengan masuk ke multilevel marketing! Tidak semua berhasil memang! Tapi, yang berhasil jadi "kaya" malah jadi snob. Lucu ya!
Hal itu saya ceritakan ketika pada 1999 saya diundang berbicara di American Marketing Association (AMA) Education Conference di Boston. Waktu itu saya katakan bahwa di masa krisis memang ada tiga segmen pasar, yaitu snob, smart, dan dumb. Dan, ada "perputaran"-nya. Segmen yang dulu dumb bisa mendadak jadi snob kalau mendadak jadi "kaya". Yang dulu snob terpaksa jadi smart karena mau hidup lebih rasional. Sedangkan yang dulu smart bisa turun kelas jadi dumb!
Cara melihat pasar secara kreatif inilah yang saya perkenalkan di Boston, berdasarkan pengalaman nyata di Indonesia yang sedang krisis hebat. Buku tentang krisis itu laris manis di Indonesia. Isinya yang saya seminarkan di Boston menarik banyak perhatian profesor marketing dari berbagai perguruan tinggi di sana yang ingin tahu tentang krisis Asia. Itulah upaya saya supaya MarkPlus tetap bisa jadi "garda depan marketing" di pentas dunia, walaupun sedang di masa krisis. Yakni, mengambil krisis itu sendiri sebagai suatu kasus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar