Janganlah Berfikir Menjadi Orang Sukses Tapi Berusahalah Menjadi Orang Bernilai - by @Rizal2407 - Rang Sintuk
Catatan dan Goresan Masrizal
Strategic Links
Rabu, 12 Januari 2011
TEMPO: Handry Satriago, Si Pemecah Rekor
Handry Satriago, Si Pemecah Rekor
Sabtu, 04 Desember 2010 | 01:49 WIB
Handry Satriago, Presiden General Electric Indonesia
TEMPO Interaktif, Jakarta - Handry Satriago adalah “pelari” sejati. Dia ada di jalur sprint. Dia hadir di lini jarak jauh. Dan, astaga! Dia melesat di lintas maraton. Perhentian, stagnansi, dan zona nyaman adalah “halang rintang” yang dilibasnya dengan endurans nyaris tak tercela. Ya, hidup Handry ibarat lintasan lari mendebarkan--yang melukiskan ketakterbatasan manusia mengoptimalkan daya hidup di tengah keterbatasan.
Berbagai brevet yang dia kumpulkan sepanjang jalan membuat orang--barangkali--terpikat menjuluki dia “Wonderkid” dan sejenisnya. Entahlah. Tapi rasa-rasanya itu bukan julukan tepat. Dia manusia biasa saja, pria 41 tahun, yang persisten melawan rintangan, setiap kali. Kutipan dari satu teman masa sekolah agaknya lebih tepat menggambarkan Handry: “He is a comeback kid, he sure is--dia selalu kembali ke arena hidup dengan berdaya--betapa pun besarnya kesulitan.”
Pada 1987, kanker getah bening merenggut daya kedua kakinya, dan memindahkan dia ke kursi roda pada usia 18 tahun, hingga sekarang. Dari titik nadir panjang dan menakutkan, remaja itu bangun, menjemba kursi roda, lalu mengubahnya menjadi partner--dan bukan pasif tergantung. Dari atas kursi itu, Handry kembali mengeksplorasi tahun-tahun hidupnya bak pelari multilintas dengan target pursuit of excellence: menjadi yang terbaik.
Kini, 23 tahun kemudian….
Di lantai dasar Gedung Parkir BRI di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan--satu sentra bisnis paling prestisius di Ibu Kota--Handry menempati kantor Presiden General Electric Indonesia. General Electric (GE) adalah raksasa teknologi dan energi kelas dunia dengan 130 tahun sejarah. Didirikan Thomas Alva Edison di Amerika, perusahaan ini hadir di Indonesia sejak 70 tahun lalu--dan kini menggurita di 100 lebih negara.
Handry, anak tunggal sebuah keluarga perantau Minang sederhana, mengisi kursi itu sejak 1 September 2010. Dua rekor sekaligus dia pecahkan: menjadi lulusan pertama universitas dalam negeri yang mengisi posisi Presiden GE Indonesia, dan pemimpin termuda dalam sejarah General Electric global.
Prestasi itu tidak lahir dari ruang kosong, tentu saja.
Alumnus Institut Pertanian Bogor ini mahasiswa teladan nasional 1993. Dia memetik dua cum laude dalam masa studi--dan lulus doktor strategic management di Universitas Indonesia pada Juli lalu, di tengah jadwal superpadat sebagai Direktur Power Generation GE Energy ASEAN.
Bergabung dengan General Electric pada 1997, Handry sempat menangani Divisi GE Lighting. Dalam dua tahun, insinyur pertanian itu melejitkan pendapatan divisi ini dari nol ke US$ 3 juta (hampir Rp 30 miliar). “Dia punya semacam ketajaman melihat bisnis dengan cara out of the box. Itu membuat dia sukses mengendus potensi yang luput dilihat orang lain,” kata seorang pengusaha muda nasional.
Dua kali Handry memberikan wawancara kepada U-Mag. Pertemuan pertama dilangsungkan di rumahnya--lalu di kantornya, dua pekan kemudian. Mirip “bunker”, kantor itu simpel dan efektif: jauh dari kesan “power office”. Ada satu meja kerja. Rak buku kecil. Seperangkat sofa. Meja rapat. Kulkas satu pintu yang menyimpan berkotak-kotak jus dan teh serta Diet Coke. Di dekat jendela, sehelai sajadah tersampir di gantungan jas dari kayu.
Di ruangan itulah, Hermien Y. Kleden dan Andari Karina Anom serta juru foto Ijar Karim mewawancarai Handry Satriago untuk U-Mag edisi November 2010. Berlangsung dua jam lebih, wawancara itu lebih mirip diskusi seru, hampir tanpa off the record.
Berikut ini petikannya.
Apa kriteria pertama Anda menerima sebuah pekerjaan?
Syarat pertama harus ada hal yang masih bisa saya pelajari terus-menerus di tempat itu, harus ada challenges. Jika semuanya sudah tertutup dan saya menjadi robot, itulah saatnya saya pergi--sebagus apa pun pekerjaannya.
Sebagus apa pun?
Sebagus apa pun! Saya selalu memerlukan passion untuk mendidihkan semangat, membuat saya merasa hidup, yang mungkin saya temukan di sebuah tempat yang masih memberi saya kesempatan belajar.
Tiga belas tahun Anda tidak beranjak dari General Electric. Artinya tempat ini membuat Anda belajar terus-menerus?
Persis! Ide saya adalah perusahaan harus tumbuh, ide-ide perlu tumbuh. Tapi saya juga mesti tumbuh. Dan itu saya temukan seluas-luasnya di GE. Kami selalu punya hal baru, setiap tahun ada pembicaraan baru, eksekusi baru. Kami tidak takut membuat kesalahan, dan kami belajar dari kesalahan. Itu cara kami bekerja, dan membuat GE tetap maju selama 130 tahun.
Oke, apa yang terpikir oleh Anda ketika menerima posisi National Executive GE untuk Indonesia?
Bahwa GE harus menjadi partner dalam bisnis di negeri kita, dan bukan hanya sebagai pemasok, equipment supplier. Saya barangkali “produk Indonesia” pertama yang memimpin GE Indonesia.
“Produk Indonesia” dalam arti apa?
Dalam arti saya bersekolah di sini dan hidup di sini. Tim saya seluruhnya orang Indonesia. Ketika teman-teman tahu posisi ini ditawarkan, semuanya gembira dan amat mendorong: “Come on, Handry, let’s rock, let’s do something.” Kami ingin membuat GE berguna bagi Indonesia, dan itu bukan cuma lewat program-program filantropis.
Soal GE menjadi partner bisnis, bisa Anda jelaskan lebih detail?
Ya, partner bisnis, dan bukan sekadar project based atau sebagai equipment supplier. Tapi partner. September 2909, Jeff Immelt (CEO dan Chairman General Electric--Red.) datang ke Indonesia. Dalam kesempatan itu, dia berbicara kepada kami. Kata Jeff, Indonesia selalu menjadi future market, pasar masa depan, untuk GE. Duduk di belakang ketika itu, saya menjawab, “Jeff, kita sudah lelah terus-menerus mendengar Indonesia sebagai pasar masa depan. Sudah 20 tahun terakhir kita mendengar hal itu. Mengapa kita tidak melakukan hal berbeda, membuat Indonesia “now market”?
Jadi ini soal perubahan mindset?
Ya! Tapi perubahan mindset adalah soal amat mendasar. Sebab, keputusan memperlakukan Indonesia sebagai future market dan now market akan mempengaruhi bagaimana seluruh bisnis GE akan dijalankan di Indonesia.
Apa respons Jeff Immelt terhadap usul Anda?
He bought the idea. Satu tahun setelah pertemuan itu, kami membuat banyak perubahan di Indonesia. Kami menerapkan lebih banyak strategi lokal, lebih banyak orang Indonesia yang memimpin GE. Bahkan sekarang boleh saya katakan semua GE leader kami di negeri kita adalah orang Indonesia. Dan itu sangat membahagiakan saya. Jadi, begitu Jeff sepakat, efeknya kayak orkestra. Begitu konduktornya memberi tanda oke, semua orang memainkan bagian musik masing-masing.
Dan bagian apa yang Anda mainkan ketika itu?
Menjadi salah satu orang yang bertugas mengalirkan pemasukan, revenue. Lalu, tiba-tiba, saya mendapatkan tugas baru ini sebagai national executive untuk Indonesia (Presiden GE Indonesia--Red.)
Apa respons pertama Anda terhadap posisi baru ini?
Sangat senang, tentu saja, terutama dari segi bahwa saya menjadi NX (national executive--Red.) GE untuk Indonesia, di wilayah tanah air saya. Saya bisa memandu, dari segi bisnis, bagaimana menjual GE kepada Indonesia dan “menjual” Indonesia kepada GE. Andai saya menjadi national executive di negara lain, kendati potensi bisnisnya jauh lebih besar, rasanya ceritanya tentu berbeda.
Dan itu salah satu alasan Anda mengusulkan perubahan mindset GE dalam melihat pasar Indonesia: dari pasar masa depan ke pasar masa kini?
Begini. Pada dasarnya, ini bukan hanya soal menjalankan bisnis di sebuah perusahaan multinasional, melainkan bagaimana membuat GE lebih bermanfaat untuk Indonesia. Untuk menjadi now market, kami tidak bisa sekadar bekerja pada basis proyek, atau menjadi sekadar pemasok--betapa pun besar nilai bisnisnya--tapi kami harus menjadi partner bisnis.
***
Di antara daftar impiannya, Handry meletakkan “kembali ke kampus” pada deretan teratas. “Saya amat suka mengajar. Dulu saya mengajar di kelas-kelas akhir pekan.” Menjadi guru, menurut Handry, memberikan luxury yang tak dia temukan dalam profesi lain. “Bayangkan, di sebuah kafe, ada yang datang memberi salam: ‘Pak, saya dulu murid Anda, sekarang sudah jadi ini dan itu.’ It feels sooo good, saya bisa senyum-senyum seharian,” ujarnya.
Rumahnya di Tebet memang lebih mirip kediaman seorang dosen ketimbang national executive sebuah perusahaan multinasional kelas dunia. Seluruh dinding ruang kerja dipadati buku, nyaris menyentuh langit-langit. Kitab dari aneka disiplin ilmu tersusun rapi--ekonomi, manajemen, energi, sains, sastra--hingga ensiklopedia travelling. Handry adalah pembaca yang rakus. Dia melahap buku-buku matematika tinggi atau teori-teori rumit energi dengan gairah yang sama mendidih seperti membaca novel-novel sastra klasik. “Novel-novel saya dari jenis old school,” katanya.
Cinta Handry juga meleleh pada musik-musik blues--yang disebutnya “oasis” di saat-saat berat. Membaca atau mendengarkan musik adalah cara dia merilekskan diri di rumahnya yang kasual, ramah, dan penuh lukisan Bali serta memorabilia keluarga. Rumah mungil itu tegak di kawasan Tebet Barat, Jakarta Selatan. Halamannya ditumbuhi beberapa pokok bunga perdu--membuat terasnya lebih hangat.
***
Maaf, boleh kami tahu, kira-kira semampu apa Anda menjadi National Executive GE untuk Indonesia?
Wah, pertanyaan itu tentu lebih tepat Anda berikan kepada atasan saya, atau tim yang mengevaluasi saya. Tapi, andai evaluasi pribadi itu harus saya lakukan, kurang-lebih demikian: saya kenal betul Indonesia, saya hidup di sini, saya kenal betul GE setelah 13 tahun kami bersama. Saya pernah menangani bisnis proyek hingga bisnis nasabah (consumer). Saya punya semacam intuisi tentang apa yang harus dilakukan GE di Indonesia. Dan yang paling utama, saya mencintai, sangat mencintai Indonesia.
Mencintai Indonesia adalah satu hal, tapi mewakilinya di peta GE Global adalah hal lain lagi….
Saya tidak pernah berhenti belajar tentang perihal kompetisi, dan belajar mengapa kita, Indonesia, belum cukup kompetitif. Salah satu kunci dalam kompetisi adalah semangat, passion, untuk mempertautkan perusahaan multinasional sekelas GE dengan Indonesia. Harus ada yang mampu menghadirkan Indonesia sebagai sesuatu yang sungguh berarti. Dan harus ada yang berani mengatakan, “Hey, look I can do that for GE.”
And are you sure that you have that ability?
I feel I posses that: how to represent Indonesia to GE and vice versa! Tahun lalu, saya menyaksikan pertemuan Chairman GE Jeff Immelt dengan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Gita Wirjawan dan Menteri Perdagangan Mari Pangestu. Saya bangga sekali menyaksikan keduanya mewakili Indonesia dan paham betul menghadirkan konteks Indonesia dalam pertemuan tersebut.
Potensi Indonesia sebagai pasar masa kini, apa sebetulnya yang Anda lihat?
Bertahun-tahun kita berulang kali mendengar orang mengatakan Indonesia kaya sumber alam dan sumber daya. Sekarang kita berada di latar agak berbeda. Mengapa? Situasi politik Indonesia lebih stabil, lebih transparan. Bagi kami, ini masa yang baik untuk lebih mengembangkan jaringan bisnis di Indonesia.
Karena makroekonomi kita bagus?
Ya, dan para menteri yang menangani bidang-bidang tersebut mampu bekerja amat baik. Momentum lain, sasaran domestik GDP kita meningkat dan otomatis meningkatkan kebutuhan infrastruktur. Nah, GE punya banyak rencana menyangkut infrastruktur, yang tentu perlu kami eksekusi dengan tepat dan berhasil.
Apa kesulitan utama yang dihadapi GE di Indonesia?Transparansi selalu menjadi satu isu yang dipertimbangkan banyak perusahaan multinasional yang hendak berinvestasi di Indonesia. Poin saya, transparansi harus beres agar daya tarik berinvestasi di Indonesia lebih besar. Kedua, soal sumber daya manusia. Kalau kita mau menjadikan Indonesia center of excellence, kita tidak bisa hanya melihat ke dalam, tapi harus berani membandingkannya dengan negara-negara lain.
Bisa dijelaskan lebih detail?
Di level ini, kita tak lagi berbicara soal sekian persen kinerja kita naik di dalam negeri, atau sekian persen revenue meningkat. Hitungannya harus jauh lebih dari itu. Misalnya, apakah insinyur kita lebih jago daripada insinyur-insinyur Thailand, atau apakah saintis kita lebih mahir daripada para saintis India.
Seperti apa kinerja bisnis GE Indonesia dibanding “saudara-saudara”-nya di ASEAN?
Detailnya harus dicek lagi, tapi seingat saya untuk tahun lalu Thailand dan Malaysia masih di depan Indonesia.
Ini yang kami dengar: Anda yakin GE mampu berkembang menjadi jauh lebih besar di Indonesia. Benar demikian?
Ya, saya sangat yakin dengan dua alasan. Pertama, kini kami punya tim lengkap, 100 persen di sini adalah orang Indonesia. Tapi yang jauh lebih penting dari itu, kami punya spirit dan punya gairah yang sama untuk “berlari”, yang di masa lalu tidak seperti ini. Kedua, produk dan servis kami betul-betul padan dengan apa yang dibutuhkan negeri Indonesia di masa kini. Jadi kuncinya adalah mempertautkan kepentingan GE dan Indonesia secara padu, lalu mengeksekusinya.
***
Di antara semua yang pernah melintasi hidupnya, ada sosok masa silam yang tak pernah habis menerbitkan rindu dan kehilangan pada Handry. Sosok itu menyadarkan dia--sampai kini--bahwa berlari, memanjat pohon, mendaki gunung, atau menandak di seputar api unggun pada malam kemahan sekolah bukan hal yang taken for granted--melainkan anugerah hidup.
Sosok itu adalah Handry Satriago remaja, dengan sepasang kaki kukuh dan utuh. Di akun Facebooknya, potret remaja itu terpampang: tampan, segar, dengan senyum luas dan merdeka. Rambutnya keriwil panjang, riap-riap, menjalari wajah dan bahu. “That boy was taken away from me in the middle of my glory time…,” suaranya yang berat, berdebum-debum sepanjang wawancara, tiba-tiba menjadi pelan.
Kanker getah bening melesakkan remaja itu ke dalam tiga bulan penuh limbung, di awal-awal sakitnya. Dia memekik kepada Tuhan, mengapa tega memotong cita-citanya menjadi ahli sains dan belajar ke negeri-negeri jauh. Kedua orang tuanya berhasil menyentuh titik balik kesadaran anak semata wayang mereka. Keduanya menekankan, warna-warni hidup sejatinya tetap seperti sediakala. Tapi Handry harus memutuskan warna apa yang hendak dia lukiskan ke “kanvas pribadinya”.
Anak itu menjawabnya dengan kembali ke sekolah, merebut sederet prestasi gemilang di bidang akademik serta karier profesionalnya. Dan terutama menerima sakit dan segala efeknya sebagai bagian integral hidupnya. “Kanker dan kursi roda ini memberi saya jauh lebih banyak ketimbang mengambilnya,” ujarnya dengan sungguh.
***
Boleh kami tanya hal agak pribadi? Anda sukses secara akademik dan profesi. Anda kini sehat walafiat. Jadi apa yang tidak Anda miliki?
Saya tidak punya kaki untuk berlari, padahal saya ingin sekali berlari. Saya amat merindukan kelas-kelas saya di kampus, tapi saya sekarang betul-betul belum punya waktu lagi untuk mewujudkannya.
Adakah yang tidak Anda sukai dari pekerjaan sekarang?
Ya, ada juga. Formalitas salah satunya. Formality is not my things. Saya punya satu suit di kantor dan lebih senang pergi kerja memakai kaus. Kalau harus datang ke acara-acara resmi, atau harus ketemu orang yang belum pernah saya kenal, saya pakai batik atau jas. Tapi, kalau nasabahnya teman lama, mereka tidak keberatan saya pakai kaus.
Apa yang Anda jawab kalau kalau ada yang bertanya soal hidup Anda di kursi roda?
Dulu sih panjang-lebar jawabnya. Tapi kan lama-lama bosan juga kalau setiap kali harus menjelaskan hal yang sama. Jadi jawabannya adalah jatuh, ha-ha-ha….
Ha-ha-ha…. Jatuh di mana, dong?
Oh, dari tebing Citatah. Singkat. Cepat. Memancarkan citra maskulin, ha-ha-ha… dan membuat orang tidak bertanya lebih jauh. Kalau jawabnya jatuh dari motor, panjang lagi: di jalan apa, motornya merek apa.
Oke, oke, tapi sejujurnya terganggukah Anda kalau soal ini bolak-balik dibahas?
Lama saya berpikir soal itu. Orang bertanya, orang menulis tentang saya, soal kesedihan, kursi roda ini, dan sebagainya. Sampai saya putuskan di satu titik: kalaulah kisah “kesedihan” ini bisa membuat saya memberikan inspirasi kepada banyak orang untuk tidak putus asa, so be it! Saya tidak keberatan melakukannya.
Ini klasik, tapi kami ingin tahu: dari mana sumber terbesar kekuatan Anda?Orang tua saya, yang tidak pernah memperlakukan saya secara berbeda setelah saya sakit. Teman-teman saya di Lab School (SMU Lab School Rawamangun--Red.) dan IPB. Saya merasa hidup dan sangat kuat kalau dipercaya bahwa saya mampu. Dan itu yang saya dapatkan dari mereka. Lalu saya bertemu dengan istri saya, yang selalu menjadi sumber utama kekuatan saya.
***
Di antara kumpulan sahabatnya, dengan mudah kita menemukan nama Dinar Putri Sriardani Sambodja. Keduanya berjumpa di General Electric, dan berkawan. Dinar, menurut Handry, teman yang asyik. Keduanya gemar membaca, berdebat, nonton aneka genre film, ngobrol yang seru sampai remeh-temeh. Oh ya, dan selalu ada musik. Dinar bermain piano, Handry memetik gitar sekadarnya.
Perkawanan itu beralih warna secara intens tatkala cinta tumbuh--perlahan dan solid. Handry jatuh cinta pada Dinar yang berotak encer--kini dia notaris yang punya kantor sendiri--dan berparas indah, dengan garis kecantikan “amat Indonesia”: rambutnya legam, menjuntai ke pinggang; kulitnya cokelat tembaga, seperti warna madu cair. Handry melukiskan Dinar dalam metafora yang manis: “She is a rainbow with strong color of friendship,” ujarnya. “Kami satu kubu banget, amat clicked, saya nyaman sekali bersamanya.”
Dua sahabat ini menikah pada suatu hari di bulan Mei 2001.
***
Kami dengar Anda mau naik haji?
Ya, saya berangkat ke Tanah Suci awal November.
Maaf, lagi-lagi ini pribadi: boleh tahu hubungan Anda dengan Tuhan sejauh ini?
Baik, baik sekali. Di awal-awal sakit, saya komplain terus-menerus, bertanya terus-menerus, tapi sekarang jauh lebih baik. Seperti yang saya katakan kepada Anda, and it’s true: kini saya bisa melihat dengan jernih, betapa kanker itu telah memberi saya jauh lebih banyak ketimbang mengambilnya. ***
Wawancara ini dipublikasikan di U-Mag (majalah gaya hidup pria Kelompok Tempo Media) edisi November 2010.
http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2010/12/04/brk,20101204-296679,id.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar