Bonek: Dari Surabaya ke Jakarta
MENGELOLA sebuah marketing club kepunyaan sendiri di awal 1990-an tidak terpikirkan orang. Saya mulai mendirikan |MarkPlus Strategic Forum ketika itu dengan pikiran untuk melakukan diferensiasi. Sekali lagi, saya tidak hanya berteori, tapi juga mempraktikkan teori yang saya ucapkan.
Karena itu, saya sering mengatakan bahwa I am not only preaching, but also practising.
Tapi, beberapa orang bertanya kepada saya: "Kalau Anda memang pintar, kenapa kok tidak berbisnis sendiri?" Mereka lupa bahwa bisnis saya jauh lebih sulit daripada bisnis orang lain. Kenapa?
Advisory business itu sangat "abstrak" karena itu amat sekali memasarkannya. Mereka juga lupa bahwa saya waktu itu "memulai" suatu bisnis yang belum ada kebutuhannya. Sayalah yang ikut "menciptakan" kebutuhan itu sendiri. Lantas, sesudah "kolam ikan"-nya membesar, banyak orang lain yang jadi pesaing! Termasuk bekas alumni MarkPlus yang dulu "belajar" kepada saya. Tapi, justru itulah yang selalu "memicu" adrenalin saya terus untuk menciptakan diferensiasi "baru".
Begitu juga Forum. Ketika saya memulainya, orang juga menertawakannya. Bayangkan, ketika saya mengundurkan diri dari ketua AMA Surabaya, anggotanya mendekati 400 orang dengan pertemuan bulanan rutin. Saya selalu jadi moderator untuk pembicara dari Jakarta dengan topik yang berganti-ganti. Kalau pembicaranya bagus, saya hanya sekadar "back up". Tapi, kalau "lemah" dan kurang menarik, saya terpaksa harus "menutup" kelemahannya.
Repotnya, dalam organisasi sosial, ada banyak orang dengan banyak pendapat. Topiknya minta diganti terus dan tidak harus marketing-related.
Juga ada anggota yang minta supaya moderatornya jangan saya terus walaupun anggota suka. "Kasih kesempatan dong pada orang lain."
Karena itulah, akhirnya saya bikin sendiri. Fokus di marketing dan moderatornya saya terus. Yang penting, saya memuaskan anggota sebagai pelanggan. Dan supaya beda dengan "talk" biasa, makanya saya namai "strategic forum". Risikonya? Ya, anggotanya gak bisa banyak.
Sebagian besar orang lebih suka mendengarkan "talk" yang menghibur dan memotivasi. Atau seminar yang memberikan "tip".
Sejak dulu, terinspirasi oleh model saya sendiri, saya selalu berusaha "different".
Selama setahun, di Heritage Club Surabaya, MarkPlus Strategic Forum mengundang berbagai pembicara dari Jakarta. Buat orang Surabaya, ketika itu, bahkan sampai sekarang, semua yang dari Jakarta punya "kelas nasional". Karena "strategic", jumlah anggota sesudah setahun hanya berkisar enam puluh orang.
Saya melakukan terobosan dengan nekat pergi ke Harvard Business School! Ikut Executive Education Program tentang "strategic marketing management" selama dua minggu. Mahal, tapi paling tidak bisa menambal "image" saya. Ternyata tidak semudah itu, saya diterima mengikuti program eksekutif seperti itu.
Pertama daftar tidak diterima karena MarkPlus adalah perusahaan yang baru mulai. Size-nya gurem pula. Mereka kawatir dapat "complain" dari peserta lain yang berasal dari perusahaan multinasional. Tahun berikutnya, saya daftar lagi, tapi kali ini "mengaku" direktur di Bogasari. Saya berterima kasih pada Pak Herman Djuhar, bos Bogasari di Surabaya, yang mau meneken surat keterangan saya. Ketika itu, saya sedang membantu Bogasari untuk suatu proyek konsultasi di Surabaya dan Jakarta.
Setelah diterima, saya pun berangkat ke Boston untuk pertama merasakan "udara" Harvard. Di situlah, saya merasa bahwa strategic marketing itu bisa diajarkan secara "case method". Pada awalnya merasa "tersiksa"! Sudah bayar mahal, disuruh baca kasus sampai malam.
Kalau gak baca, besoknya gak dapat "isi diskusi" dari kelas.
Di diskusi kelompok, peserta lain juga akan merasa rugi.
Kenapa? Ya, karena mereka memang saling belajar dari satu sama lain, bukan hanya dari profesor! Payahnya, karena "listening" saya tidak kuat, saya harus benar-benar menguasai kasus yang didiskusikan. Untuk itu, saya sampai harus membaca kasus yang tebal-tebal itu dua-tiga kali! Supaya besoknya bisa "menebak" apa yang sedang didiskusikan! Sudah bayar mahal, saya gak mau rugi dong! Maklum entrepreneur, bayar sendiri gak bisa di-reimburse!
Sepulang dari Harvard, saya jadi lebih "pede". Terutama kalau ketemu orang di Jakarta.
Ketika itu, saya mulai sering ke Jakarta karena Bogasari. Kontrak Sampoerna habis, saya lebih fokus ke Bogasari berkat Pak Herman Djuhar yang memperkenalkan saya ke Pak Sudwikatmono. Saya masih ingat kata-kata pertama Pak Dwi -sapaan Pak Sudwikatmono- yang Presdir ketika bertemu saya di Jakarta.
"Saya gak ngerti, apakah di Jakarta sudah kekurangan konsultan sampai Bogasari harus undang orang Surabaya."
Oh my God! Tapi, saya ndableg aja, hanya senyum-senyum dan mengatakan saya siap membantu "sepenuh hati". Ya memang itu yang bisa saya janjikan ketika itu. Yang penting buat saya adalah network di Jakarta.
Nah, ketika itu kebetulan Vivi Jericho Tham yang membantu saya di Surabaya pindah ke Jakarta. Saya pun sudah bisa beli ruko di kompleks Duta Merlin. Sampai sekarang, ruko "riwayat" ini saya pertahankan.
Dari situlah Vivi menjual Program Pelatihan Eksekutif Lima Hari terinspirasi program Harvard yang dua minggu itu. Vivi berjuang keras untuk menjual saya sambil merasa kasihan kepada saya. Sudah dikenal di Surabaya, di Jakarta gak dianggap orang! Akhirnya, dengan cara "ngemis" ada 25 peserta yang ikut program itu.
Tempatnya di Mercantile Athletic Club di WTC Jakarta. Seperti di Surabaya, supaya "keren", saya masuk anggota Klab Eksekutif sekalian untuk tempat terima tamu dan klien. Sangat sulit untuk bertemu klien di Duta Merlin, yang dijadikan kantor dan tempat tinggal!
Nah, alumni program eksekutif itulah yang akhirnya saya rekrut sebagai anggota awal dari MarkPlus Strategic Forum Jakarta! Wah, setelah tahun ketiga, MarkPlus mulai masuk Jakarta! Bukan From Russia with Love, tapi From Surabaya Bondo Nekad!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar